☁✎✉
"Gimana mau berjuang, ya, Ki? Mau bertahan aja susah." Kilatan matanya begitu sendu ditambah setiap kata yang terlontar begitu lirih tak bertenaga.
Kiki melirik ke samping kanannya. Menatap gadis yang bersandar pada terali tepi gedung sambil memandangi jalanan di ujung sana dengan lurus. Sudut bibirnya tertarik naik, bahkan lekuk kecil pada pipinya juga ikut tampak. "Cupcupcup. Nggak apa, nggak usah merasa bersalah dong, Neng Aya." Mengulurkan tangannya dan kemudian mengusap pelan bahu ringkih gadis itu.
"Hidup juga bukan hanya tentang tumbuh setinggi-tingginya, tapi juga tentang bertahan sekuat-kuatnya, kok," ucap Kiki. "Kalau Neng Aya mau sukses bersama-sama dia, ya, harus bisa bertahan juga. Em, saya rasa Neng Aya harus bisa mempertahankan hubungan kalian. Karena Neng Aya jujur tentang bahagia ketika ceritakan tentang dia kepada saya. Saya ikut lega dan senang mendengarkan cerita tentang dia."
"Ki, kamu kok bisa bertahan di kelas itu? Terlebih kamu bilang kalo sosok itu ngikutin si Doni. Kamu nggak kenapa-kenapa emangnya?"
"Kenapa-kenapa, sih," jawab Kiki. Lekuk pada pipinya menghilang pun juga senyumannya. "Saya bisa apa? Nggak ada."
"Aku itu bersyukur bisa ketemu kamu lagi, tapi kalau kamunya menderita di sini aku jadi nggak senang. Aku khawatir, Ki."
"Nggak apa. Terima kasih, Neng Aya. Saya bisa atasi ini, kok. Em, karena kita sama-sama tertatih dan putus asa. Jadi, ayo kita sama-sama bertahan, ya?"
✧☁☂︎
Seperti biasanya, Kiki akan berdiri di depan loker terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi dari pelataran sekolah. Mengambil buku sketsanya dan gegas pergi tanpa memasukkannya terlebih dahulu ke dalam ransel hitamnya. Kali ini, Kiki akan mengamati sekitarnya dan menuangkan apa yang dilihatnya ke dalam sebuah sketsa.
Beberapa pekan lalu, Kiki menunggu kepulangan Herdi di taman samping sekolah. Kiki menunggu sampai lumutan, maksudnya sampai menggambar lumut yang terdapat pada gedung seberang. Ada sebuah bangunan dengan tanaman merambat seperti lumut di sana, lalu Kiki menggambarnya saking jenuh menunggu jemputan Herdi.
Nah, hari ini adalah timing yang tepat untuk kembali ke tempat yang berada di samping gedung sekolahnya. Kiki akan menggambar pemandangan menurutnya memorable. Bagaimanapun juga, Kiki hanya sementara di tempat ini. Setelah selesai dengan pendidikannya di sekolah ini, ia akan kembali ke Ambu dan Abah.
Kiki duduk pada kursi besi di bawah sebuah pohon rindang yang entah termasuk ke dalam jenis pohon apa. Pohonnya rindang dan teduh sekali pada hari panas begini. Begitu membuka lembar kertas pada buku sketsa kecilnya, alis laki-laki indigo ini bertaut. "Amplop merah?"
SRING! Mendengar suara gemerincing, seketika ia menoleh ke berbagai arah untuk memastikan. Akan tetapi, tidak ada orang lain di tempat ini. "Kenapa tiba-tiba ada hal seperti ini lagi?"
Terakhir kali itu surat aksara Sunda dan surat yang belum sempat Kiki baca sudah dibuang ke tong sampah hari itu. Benar. Kiki mulai gamang sebab takut sekonyong-konyong akan terjadi suatu hal buruk lagi kepadanya seperti yang sudah-sudah lalu itu.
Menghela napas berat. Kali ini Kiki tidak mau menghindari hal semacam ini lagi. Kiki membuka lipatan pada amplop merah itu dan mendapati sebuah kertas terlipat di dalamnya. Setelah mengeluarkannya, Kiki tidak langsung membuka lipatan tersebut, ia memandangi kertas yang cukup tebal dengan warna yang lusuh. Setelah itu, Kiki bersiap membaca isi surat :
[Akhir November, di Taman samping Sekolah
Ini Rara, dan kertas punya Ayah. Katanya, ini kertas ajaib? Nggak tau juga, sih.
Rara pengen deh kalo semua yang Rara alami selama ini cuman settingan aja. Rara pengen punya adik yang sopan sama Rara, Abim sopan dan baik, tapi dia nggak pernah manggil Rara dengan seharusnya. Apa susahnya, sih? Tambahin kata 'kak' di depan nama Rara?
Adam selalu baik, makin baik, tapi dia juga makin ngeselin. Kalo nggak ada Dista, Adam selalu ngeselin sama Rara. Kalo ada Dista, Adam kalem. Baik banget sama Rara dan nggak larang ini atau itu.