☁✎✉
Sejak pertemuan pertama, hari itu adalah penghujung Mei, semester empat. Setiap harinya di sekolah, arwah perempuan berseragam itu selalu mengikuti si Indigo. Walau hanya bisa di lingkungan sekolah saja, tetapi itu sudah cukup. Ada yang menyadari keberadaannya meski hanya satu saja sudah cukup. Lalu, kini sudah berlalu dua bulan. Hari ini, pada bulan Agustus yang panas, semester lima.
Rara selalu banyak tersenyum dan mengusili pemuda itu dengan caranya sendiri. Meski tak ada yang memperhatikan dirinya, tetapi imbasnya adalah pemuda itu. Rara selalu menjegal kaki laki-laki itu sampai tersungkur; mengganggu temannya, si cerewet Ramdani, tapi berwajah tampan dengan menggerakkan benda di sekitarnya dari: pensil atau pena, hingga buku, bahkan kursi dan meja di dalam kelas. Sempat waktu itu, Rara menyembunyikan barang penting milik teman sekelas pemuda itu.
Kali ini, Rara hanya berdua dengan pemuda itu, di bubungan atap gedung jurusan. Gedung 4A yang menghadap ke arah selatan.
"Maaf, lain kali nggak lagi, deh. Maafin Rara, ya."
Laki-laki yang memiliki kulit putih mulus itu hanya terdiam. Wajahnya yang rupawan itu terlihat seperti anak pendiam yang baik dan polos, tetapi siapa yang tahu jika orang baik-baik seperti Kiki bisa marah juga. Manalagi cara ia marah tidak biasa, diam seribu bahasa.
"Kamu teh, kan, udah denger sendiri. Nggak ada yang tau tentang kejadian yang kamu ceritain ke saya waktu itu." Menghela napas dengan kesal.
Benar, Rara sempat menceritakan sedikitnya tentang kenangan semasa hidupnya. Tak banyak, hanya menyebutkan nama-nama orang yang bisa Rara ingat, sisanya banyak sekali yang Rara lupakan dan lewatkan. Entah mengapa, tetapi seakan hal biasa. Bisa disimpulkan jika gadis arwah ini kehilangan ingatan semasa hidupnya, tetapi anehnya ia bisa mengingat keinginan semasa hidupnya.
Mari kembali ke beberapa saat sebelumnya. Menilik yang telah terjadi: suatu hal yang miring dipercaya orang-orang kebanyakan. Namun, hal tersebut terjadi di depan banyak orang. Satu kelas memperhatikannya dan dibuat geger karena hal tersebut, penyebab dan dalangnya adalah gadis itu.
Pagi tadi, Kiki tengah berjalan menuju kelasnya tanpa dikawal gadis itu. Tahunya, si gadis tengah berdiri dengan telinga terbuka lebar mendengarkan perbincangan teman-teman di jurusannya mengenai kejadian dua tahun lalu. Karena sudah tahu apa motif utama dari gadis itu, yang begitu antusias dengan perbincangan mengenai hal itu, Kiki hanya melewatinya tanpa perlu menegur.
Namun, tiba-tiba saat jam pelajaran kedua yang membosankan berlangsung. Ramdani si ketua kelas mendadak berteriak karena ada tangan dingin yang menyentuh kakinya. Bukan hanya Ramdan, ada Hilman yang tiba-tiba kehilangan ponselnya, Kalva yang tengah tertidur tiba-tiba terbangun karena bermimpi melihat tubuh seseorang terjatuh di hadapannya lagi. Selain itu, buku milik mereka yang tersimpan di laci meja menghilang.
Akan tetapi, semua benda yang dinyatakan menghilang itu terdapat di meja milik Kiki. Ditemukannya buku tersebut setelah jam istirahat pertama. Satu kelas menginterogasi Kiki. Akhirnya, mereka tahu kebenarannya.
"Lo tau siapa yang datangin mimpi gua?" Kalva duduk dengan tidak nyaman di kursi depan milik Kiki. Pemuda ini menatap Kiki dengan raut ketakutan. "Anehnya, tuh, kenapa alur mimpi gua persis kayak cerita yang pernah terjadi di sekolah kita? Kayak di cerita yang Yuma pernah kasih tau juga. Gua nggak punya hubungan apa pun sama kasus itu, loh. Sumpah, tapi di mimpi ... aing ngeri, Bung!"
"Ada yang nggak beres sama sekolah kita!" ungkap Ramdan. "Apa cuman kelas kita aja yang diteror begini? Nggak 'kan?"
Kembali kepada dua insan berbeda dimensi ini. Rara menunduk lesu karena sangat bersalah. Akan tetapi, di dalam hati gadis itu ada rasa belum puas dengan usahanya mencari kebenaran antara gosip seram dengan gambaran dari kepalanya. Entah bagaimana, tetapi Rara merasa dua hal tersebut memiliki kesinambungan satu sama lain. Apa mungkin gosip seram itu mengenai dirinya yang meninggal ini?
"Iya tau, tapi Rara udah nggak mau tau lagi kok. Rara cuman mau duduk sama teman. Satu-satunya yang bisa lihat arwah itu, kan, cuman kamu." Ia tidak bersungguh-sungguh apa yang dikatakannya. Nyatanya, Rara masih ingin mengetahui lebih jauh lagi. Kalau bisa sampai akarnya.
"Siapa yang teman kamu?" Si Indigo tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu barusan.
Menunjuk pemuda itu. "Kamu."
"Emang kamu tau siapa nama saya?" Mulai geram sendiri, ia merasa bersalah karena harus berurusan dengan arwah lagi. Tolong saya, jauhkan arwah ini dari saya sekarang dan selamanya kalau bisa!
Mengangguk. Rara juga menunjuk papan nama yang ada di sebelah kiri seragam pemuda itu. "Tau!" jawabnya enteng. "Muhammad Asep Rizki, kamu lebih senang dipanggil Kiki." Tersenyum menang. "Jadi, aku juga panggil kamu Kiki mulai sekarang, ya?"
Kiki, pemuda itu hanya bergeming dengan tatapan malasnya. Lalu, mengalihkan pandangannya. Ia tertekan dengan tanggapan gadis itu. Wajah polos dan pucat itu, tatapan mata yang berbinar dengan kelopak mata layu, wajah rupawan yang tak biasa ia dapati dari para arwah, sedikit membuat dirinya merasa risi.
"Apa ngelihat Rara bikin kamu kesel?" Rara berhasil membuat pemuda itu menatapnya lagi. "Em, maksudnya ... apa melihat arwah bikin kamu nggak senang?" Tersenyum dengan tanpa kerutan di area mata, dalam kata lain ia tersenyum dengan terpaksa.
Laki-laki si paling 'saya' ini mengangguk tanpa kata.
Rara cemberut sesaat. "Kalo gitu, harusnya Rara nggak usah ganggu kamu, ya? Maaf." Tersenyum dengan kerutan di area matanya. Tersenyum tulus.
Kiki terdiam, melihat arwah perempuan itu yang berjalan menjauh dan mulai menghilang dari pandangannya membuat pilu mencubit hatinya. Apakah barusan ia sudah tidak berperikemanusiaan dengan membedakan makhluk Tuhan?
"Astaghfirullah ... nggak bermaksud gitu, tapi dia usil banget!" gemas sendiri. "Apa semasa hidupnya nggak pernah punya teman atau kumaha, sih?"