Enigmatic Soul

Nanas-imnida
Chapter #15

Bagian 3: September: Hari Demi Hari

☁✎✉

       Tungkainya melangkah dengan gontai di lorong, mengikuti langkah kaki seorang gadis berambut panjang di depannya. Seorang gadis yang entah mengapa dapat mengingatkannya kepada diri sendiri. Meski tak ingat dengan baik bagaimana dirinya semasa hidup, tetapi begitu melihat gadis itu ia yakin pernah dalam situasi yang sama dengan si Jutek itu. Gadis yang diikutinya ialah Fanya, dan ia mengikuti si Jutek yang masuk ke pelataran sekolah seorang diri.

Rara tiba di lantai dua gedung 4A, bergeming dengan tanpa kata melihat kedatangan Fanya yang baru saja tiba di lantai ini. Menatapnya tanpa kata, gadis itu terlihat tidak sehat dan tidak segar. Rara teringat lelaki indigo itu, ia hendak mengadukan hal ini, tetapi seketika ia urung karena kejadian dua hari yang lalu. Sudah menjadi keputusannya untuk tidak lagi berada di dekat pemuda itu.

Melihat pelajar lain yang menaiki tangga menuju lantai ketiga, ia langsung mengikutinya. Dengan tanpa tahu apa yang akan terjadi.

Di depan pintu kelas Busana 1, dua teman sekelas dan seorang teman dari kelas sebelah sedang berbincang. Pada pagi hari yang cerah dengan awan bergumul tebal di langit. Meski begitu, hari ini akan tetap cerah. Nah, sebut saja Gia, Nina, dan Wanda.

"Eh, aku denger-denger, meja kosong itu nggak bisa dipindahin, masa iya, sih?" kata seorang gadis berkucir dua. "Di kelas kalian, kan, cuman ada 23, tapi kenapa meja paling pojok kiri nggak pernah dibuang?" Nina memulai percakapan.

Temannya dari kelas bersangkutan menjawab, "Nggak tau, padahal Buketu udah sering izin ke penjaga dan Pak Nino juga buat pindahin atau buang meja itu. Tapi ...." Sengaja menjeda ucapannya. "Kalian inget kasus setahun lalu 'kan?" ujar Wanda. Dua teman lainnya mengangguk.

"Angkatannya kak Adam, kak Eza, sama Teh Sasa 'kan?" Nina mengajukan tanya.

"Teh Sasa yang mana?" Teman satu ini bingung, Gia.

Dua yang lain berdecak kesal dan terkekeh heran.

"Teh Carisa!" desaknya agar si teman ingat, Wanda.

Rara yang berdiri tak jauh dari mereka itu, tak sengaja mendengar ucapan yang menyebutkan nama. "Carisa?" Telinganya seakan akrab dengan nama ini.

"Iya, ada apa dengan angkatan mereka?" tanyanya untuk melanjutkan pembicaraan. Gia mulai tertarik.

Temannya yang dikucir satu dengan poni menyamping ke kanan, segera menunduk, dan kemudian berbisik. "Aku lupa siapa namanya karena saking nggak boleh ada yang tau 'kan ...," kata Nina. Dua temannya mengangguk-angguk.

"Meja kosong pojok belakang di kelas itu bekas mejanya dia." Nina benar-benar berbisik.

Hening. Mereka terdiam dan saling menatap satu sama lain.

"Katanya, dia udah meninggal karena kejadian di sekolah waktu itu ... ngeri banget nggak, sih?" Nina lagi.

"Itu karena apaan, sih?" Wanda sangat penasaran.

Temannya dari kelas sebelah menjawab. "Di-bully!" desisnya. "Denger-denger itu gegara kisi-kisi ujian. Sejak kasus kisi-kisi, dia diganggu dan dirundung gitu. Terus pernah juga sampe disakitin ke fisiknya juga. Banyak rumor bilang kalo dia ini udah nggak sanggup lagi dirundung, dan gitu.

"Eh,ada juga yang bilang kalo pas kejadian itu ... dia didorong sampe jatuh. Ah! Apa kalian inget yang namanya Puja?"

"Dia itu yang tunangan sama Adam?"

"Bukan!" jawab mereka bertiga bersamaan.

"Loh?" Mereka bertiga cengo. Saling berpandangan.

"Tadi yang sebut Puja tunangan kak Adam kamu 'kan?" tunjuk si teman dari kelas sebelah. Nina menunjuk Wanda

"Nggak!" Teman yang dikucir dua menggeleng tegas. Ia menujuk ke teman sekelasnya. "Kamu, ya?" Wanda menunjuk Gia.

"Bukan!" balasnya dengan wajah kebingungan. Gia tercengang

"Terus siapa?" Nina bengong.

"Aku," balasnya dengan datar. "Percuma aku bilang begitu. Kalian nggak bisa lihat aku!"

"Bubar-bubar! Udah nggak kondusif bahas kejadian itu!" Bergidik ngeri. Wanda membubarkan formasi mereka.

Bayangin aja, lagi serius-seriusnya, udah sampai konflik, dan eh ... malah ada kejadian tidak mengenakan. Memang, ya, membahas kasus yang misterius bisa saja mendatangkan atmosfer aneh, bahkan kejadian tidak terduga sekalipun selalu terjadi.

Bel berbunyi, sehingga tak ada pilihan lain bagi mereka untuk tidak segera mengakhiri perkumpulan atau nongkrong bersama lagi karena bel masuk sudah berkumandang dengan merdu ke penjuru area sekolah.

Matanya berkeliling, Rara berdiri samping kelas itu. Memandangi seisi kelas dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya mencari. "Meja kosong pojok belakang kiri," katanya. Menatap ke arah yang dikatakan. Tak ada yang aneh, seperti yang dikatakan mereka tadi.

Rara menatap bangunan gedung sekolah dari atas gedung yang berada tepat di depan sekolah. Menatapnya dengan lama tanpa memikirkan apa pun. Mungkin ia tak memikirkan apa pun, tetapi ia merasakan satu hal, kesepian.

"Apa aku ke sana lagi? Buat temuin anak-anak itu?"

*o*

Lihat selengkapnya