☁✎✉
Hari ini adalah Kamis. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, setelah ujian tengah semester yang digelar mendadak di penghujung bulan September. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, kecuali kenangan saat bersama dia yang sudah pergi dan berbahagia dengan kehidupan barunya.
Mendadak, Kiki kehilangan semangatnya. Berjalan dengan lesu di sepanjangan trotoar menuju jalanan utama kota. Ia tak sendirian, ada beberapa siswa-siswi yang juga berjalan kaki meninggalkan pelataran sekolah untuk pulang ke rumah. Bersama earpods yang mengumandangkan musik secara acak dari aplikasi pemutar musik berwarna hijau. Kiki melangkah dengan perasaan hampa walau musik yang didengarkan memiliki gaya musik yang mengguncangkan, biasanya untuk sing along dan menari: Jikjin.
Visual wajahnya yang menawan, dan memiliki sisi oriental itu terlihat datar meski dentuman musik mengusiknya dari benda yang menutupi kedua sisi bagian kepala, dalam kata lain Kiki terlihat seperti pemuda tampan yang misterius. Manalagi topi dan jaket hitam yang terpasang di tubuhnya itu memberikan kesan yang menguatkan sisi misteriusnya.
"Saya sudah putuskan, kalau dia datang dan muncul di hadapan saya lagi ...."
Kiki menghela napas panjang, menerbitkan senyuman simpul yang terkesal mengerikan, dirinya sudah membulatkan sebuah keputusan.
"Akan saya lakukan!" lanjutnya masih sok misterius, tentu saja ucapannya barusan membuat senyuman itu kembali memudar.
Bukan tanpa alasan Kiki berani memutuskan. Berkat surat kaleng yang berisi aksara Sunda, surat belum tuntas, dan surat peringatan lainnya, Kiki yakin jika gadis roh anak sekolahan itu benar-benar gadis yang disuratkan kepadanya. Si Eneng rambut sapundak.
Di seberang jalanan utama ini, ada seorang gadis yang berjalan lurus dengan langkah penuh semangat sambil tersenyum riang bersama seorang anak laki-laki yang memakai pakaian tidak biasa, seperti pakaian tempo dulu. Bukan hanya itu, rambut pirangnya seakan menjadi highlight dari seluruh penampilannya. Mereka berdua terlihat akrab walau anak laki-laki itu terlihat hanya mengangguk tanpa tersenyum menimpali ucapan gadis itu.
Kiki berhenti di tempat penyeberangan. Memandangi dengan tatapan bergeming kepada objek yang dilihatnya saat ini. Antara terpaku dalam keterjutan, karena ucapannya cepat terkabulkan.
"Loh, dia ...," ucapnya.
Raut wajah datarnya berubah seiring kerutan pada dahi dan area matanya terlihat, seakan-akan Kiki kecewa dengan apa yang dilihatnya. "Kenapa saya kesel, ya, liatin dia?"
Gadis itu seketika berwajah cemberut. "Rara ketemu Maria karena diajak Victor, dia bilang: "Rara boleh main sama kalian selama Papa nggak marah." Hehe ... walau awalnya Papa marah besar, tapi Papa cuman diam dan bolehin Rara main sama kalian. Gibran, apa tadi Victor marah?"
"Sepertinya begitu, Rara," jawab anak laki-laki ini. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam membingkai area matanya. Hidung bangir, rambut pirang, dan tubuh tinggi sesuai dengan usianya, 15 tahun.
"Em, begitu ya, Rara sebaiknya kembali ke sekolah. Terima kasih udah temenin sampai sini, makasih juga udah izinin Rara di rumah kalian. Rara harus kembali, kan?"
Anak itu mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi. "Kalau membutuhkan teman, datanglah. Ah~, dan jangan mudah percaya dengan manusia, mereka tidak semuanya memiliki niat yang baik. Kecuali Hansel," kekehnya. Akhirnya menampakkan senyuman menawannya itu. Ternyata anak ini memiliki lesung pipi.
Mereka berdua berhenti di persimpangan jalan, tepat di area penyeberangan jalan. Keduanya saling menatap dengan raut berbeda satu sama lain.
"Lain kali, seharusnya Rara bisa ketemu sama teman manusia kalian, kan?"
"Mungkin?"
"Rara juga harusnya punya teman." Tatapannya mengawang dengan senyum mengembang. "Dah, Gibran!"
Gadis itu berjalan meninggalkan anak laki-laki dengan kepala menunduk. Menatap sebuah jepit rambut yang diberikan kepadanya. "Emangnya kalo Rara pakai ini, Rara bisa hidup lagi? Nggak, deh!" gumamnya. Melangkah dengan riang di penyeberangan jalan ini tanpa memedulikan yang lain.