☁✎✉
Tubuhnya semampai, mengenakan gaun putih selutut setengah mengembang, rambutnya pirang kecokelatan, dan berpenampilan berantakan. Ada darah merembes dari area perut bagian kiri dan lehernya. Wajahnya banyak luka basah dan menghitam. Berdiri di balik meja pos bersama teman barunya.
"Shila, aku pengen pipis, nih. Anterin, yuk?" Lain hal dengan gadis ini, ia mengenakan pakaian merah muda yang diikat seperti permen dibungkus. Di kedua bola matanya ditambahkan riasan hitam dengan kulit putih, dempulannya terlihat tebal sampai seputih itu. Belum lagi lukisan berwarna merah melintang ke pipinya.
"Terus ini siapa yang jaga entar?"
Gadis ini mengerucutkan bibirnya. "Nggak akan lama, kok. Di toilet UKS aja. Lagian baru dimulai katanya, jadi mereka pasti bakalan lama datang ke pos kita."
"Ya, udah hayu!"
Lima menit kemudian, tiga pemuda itu akhirnya tiba di tujuan yang tertunda, mereka sengaja mengulur waktu untuk datang ke pos yang ada di depan ruangan kesehatan, UKS. Sepertinya, pada pos terakhir ada yang ada yang aneh. Tidak ada meja pos sama sekali.
"Kayaknya rencana panitia berubah," ucap Niki menatap kepada Tian, "kalo bukan di uks, ke mana kita harus pergi buat dapetin barang terakhir? Mana Ramdani dan Kalva udah tungguin kita."
Kiki celingukan. Sudut matanya menangkap bayangan yang bergerak mendekat, tetapi tidak tertangkap seakan bayangan itu meloloskan diri. "Kita naik aja, siapa tau posnya ada di sana. Inikan misi, jadi kita harus cari sendiri walaupun harus keliling, balik lagi ke tempat sebelumnya."
Baik Tian atau Niki, keduanya menyetujui usulan Kiki. Tian bilang, "Di rute kita kayaknya aman, deh. Soalnya di setiap kelompok bakalan dikasih kejutan gitu, entah kejutan apaan ... tapi, kalo sampe ada yang gagal naik ke titik finis, itu berarti ada gangguan."
"Siapa tau, ye, kan?" sahut Niki.
"Janganlah!" protes Tian. "Gua nggak mau repot sampe harus lari-lari segala entar. Mana ketuanya nggak mau tanggung jawab. Gua yakin kita aman kok."
Saat menaiki tangga di gedung 3A ini, menaiki tanggal menuju ruang kelas dari jurusan Kimia Tekstil. Suasananya hening seperti tidak ada tanda-tanda seseorang berjaga di lantai ini.
Meski baru naik ke lantai dua, tetapi sudah dapat dipastikan semua panitia hanya akan mendiami lantai pertama dan kedua di seluruh gedung.
"Kayaknya bukan di sini, deh?" Niki berjalan di depan. Melepaskan rangkulannya dari Kiki sejak lama. Senter dari ponselnya juga berusaha menyoroti ruang kelas yang dilewati. Niki merasa jika mereka salah alamat lagi setelah ucapan Kiki di awal perjalanan mereka
"Sial!" ringis Niki.
Tian yang berjalan di dekat tembok pembatas itu tengah memantau keadaan di bawah, siapa tahu ada seseorang atau ada hal yang bisa didapatkan dari misi terakhirnya. "Kenapa lo?" Namun, atensinya pecah juga saat terdengar Niki meringis.
Sedangkan itu, Kiki hanya diam menatap ke arah Niki. Kiki bekeringat dingin saat angin yang entah datang dari mana berembus menyapu ceruk lehernya. Sepertinya, Kiki tidak akan menyukai apa yang selanjutnya terjadi.
"Apaan?" sahut Niki. Berbalik ke belakang untuk berhadapan dengan dua temannya yang berada di posisi berbeda. "Lo denger sesuatu?"
Nah, kan, benar!
"Lo tadi meringis, kena apaan? Ada sesuatu?"
Niki mengeryitkan dahinya. "Nggak! Tadi nggak kenpa-kenapa." Dengan nada penuh keraguan.
Karena penerangan hanya dari ponsel, secara mendadak flash dari ponsel Niki dan Tian kompak padam. Awalnya mereka tidak panik sama sekali, masih berpikiran positif bahwa kemungkinan baterainya semakin menyusut dan akhirnya pengaturan senter itu padam sendiri.
Mereka diselimuti kegelapan lorong yang hanya mengandalkan cahaya langit, bulan bersinar samar di atas sana. Meski berada dalam gelap sekalipun, mereka masih bisa melihat keberadaan masing-masing. Pada akhirnya, mereka melanjutkan langkah untuk menyusuri lantai dua ini sampai ujung, siapa tahu letak pos jaga ada di sekitar sini.
Karena gelap, langkah mereka yang berdekatan itu sesekali saling beradu. Langkah Tian tidak sekali duakali menabrak punggung Niki, atau tak sengaja menginjak sepatu Niki. Sedangkan itu, Kiki berjalan pelan sambil menatap berkeliling, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan sesuatu, meski tidak ada apa-apa, sih.
"Ki, lo jalannya cepetan napa!" desak Tian. "Kalo lo jalannya pelan gitu, sepatu lo jadi korban, kan, jadinya."
"Gelap, anjir!" Niki berhenti di pertengahan lorong saat telinganya menangkap sebuah suara.
Tian mengikuti langkah Niki, mereka berdua terdiam. "Ki, lo barusan denger juga, kan?" tanya Tian.
Langkah Niki yang terhenti disusul Tian itu ternyata disebabkan karena mereka mendengar sebuah suara lirih yang begitu dekat. Dekat sekali seakan itu benar-benar dibisiki di telinga mereka. Meski suaranya sangat lirih, tetapi hal itu mengusik mereka.
"Iya." Niki memegang lengan Tian. "Suara berdengus, kayak nahan ketawa gitu."
"Sialan, nih, hp pake mati segala, sih!" Tian mencoba menyalakan ponselnya, tetapi malah padam total.
Niki yang menyadari hal itu langsung merogoh saku celananya. "Anjir, kok punya gua juga mati? Padahal tadi baterainya masih empat puluhan."
"Sep, lo bawa hp nggak?" tanya Tian menoleh ke belakang. Tidak ada sahutan. "Asep?"
Tian menoleh ke arah Niki. "Gimana ini? Si Asep kok nggak nyahut?"