☁✎✉
Dengan napas terengah-engah, Ramdani disusul Kalva yang baru saja sampai di lantai dasar gedung 3B. Mereka berdua segera turun karena suatu hal aneh terjadi, mendengar suara tawa melengking yang sangat dekat di lorong kelas sebelas TKJ. Bukan main, mereka juga mendengar suara perempuan menangis di pojokan yang entah pojok mana. Lalu, suara teriakan yang terdengar nyata dan suara keramaian dari lantai atas gedung 3A juga terdengar. Sekelompok orang tengah melerai keributan di sana.
"Kalian ngapain di sana?" tanya seorang panitia, datang dari gedung 4A.
Ramdani terdiam sesaat. "Kok pada heboh? Bukannya ini bagian dari rencana di uji nyali?"
Seorang laki-laki dengan pakaian putih bernoda merah itu berjalan mendekat ke arah Ramdani dan Kalva. "Nggak, ini bukan rencana panitia. Bisa dibilang ada kecelakaan, karena kalo tim kak Hansel turun tangan, udah bisa dipastikan kalo ini bukan bagian dari rencana. Kayaknya ada yang pingsan dan kerasukan, deh."
"Oy, kalian!" Seseorang datang, lalu segera memberikan perintah untuk melanjutkan semuanya. Katanya, keadaan sudah aman terkendali.
"Kalian kelompok satu?" tanyanya kepada Kalva.
"Iya," jawab Kalva singkat.
"Lama banget selesainya, sampe sejam?" Ada unsur ledekan di balik kalimat tanya ini. "Kelompok lain udah ada yang selesai, kelompok di belakang kalian pas di aula udah selesai. Cuman kelompok kalian aja yang ada empat orang, tapi lama banget."
Kalva terdiam. Ia merasa suatu kejanggalan telah membersamai perjalanan mereka malam ini, dan lagi ... kenapa pemuda bernama Raga yang dikenal Kalva itu mengatakan jika kelompoknya menempuh durasi yang lama dan hanya empat orang katanya?
Kalva dan Ramdani hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit dan sekitar tujuh menit menunggu kedatangan tiga teman lainnya yang entah ke mana. Kalva terdiam sambil berjalan di samping Ramdan. Sedangkan itu, tentang formasi ia yakin jika mereka ada berlima.
"Dan!" teriak Tian dari lapangan. "Si Asep ngilang."
Seorang panitia yang hendak naik bersama kelompok dari 12 Oto-3 itu menghentikan langkahnya yang sudah ada di tangga. "Dua belas Oto-3 cepetan naik dan selesain misi kalian!"
Ramdan, Kalva, Tian, dan Niki menatap ke arah panitia dengan pakaian bercak merah itu. Lalu, kembali saling pandang satu sama lain.
Kalva berjalan di belakang sambil memegangi kemoceng dengan tangan gemetar. Ia berjalan naik sambil mengingat dalam ketakutan. Ia merasa ada yang ikut berjalan di belakangnya, dan lagi ia masih memeluk rasa takut sebelumnya. Alasan kenapa ia turun terlambat dari Ramdani, alasan kenapa Kalva terbungkam.
Saat mendengar suara tangis itu, Kalva dengan berani berjalan mendekat. Tidak seperti Ramdani yang sudah berlari ketakutan meninggalkannya. Kalva ingin memastikan jika suara tangis itu adalah sebuah jebakan. Namun, ternyata bukan. Kalva malah mematung, tubuhnya kaku untuk sementara waktu sampai tidak bisa bergerak. Ia bak terkunci sambil menyaksikan suara tangis itu keluar dari kegelapan lorong. Suara itu menjauh seiring jarak sosok itu mendekat.
"Tolong!"
Walau begitu, Kalva tidak bisa melihatnya. Kalva hanya mendengar suara itu, dan kemudian merasakan embusan angin menerpa wajahnya dengan kuat. Lalu, setelah itu ia bisa kembali begerak. Angin yang berembus ke arah utara dengan melewatinya saat itu membuat tubuhnya dengan gesit berlari dari lorong gelap lantai dua itu.
Langit tidak lagi bercahaya, awan hitam tebal menutupi bulan purnama di atas sana. Gemuruh dan guyuran hujan gerimis malam ini menemani proses perjalanan misi horor mereka dengan semakin serunya.
Tidak ada lagi kejadian yang sempat dialami Tian, dan Niki. Kelompok mereka berhasil meski dengan ketidakhadiran Kiki. Masih tidak tahu keberadaan Kiki sampai mereka berkumpul di kelas. Bahkan saat ini pun, Tian dan Niki enggan berbicara. Ramdani dan Kalva juga.
"Ramdani!" pekik Wisnu, ia datang dengan langkah besar dan wajah berkerut marah.
"Kenapa?"
"Kenapa kata lo?" ulangnya. "Katanya mau kelas kita menang? Kenapa kalian malah telat dan dapet hukuman alih-alih kelulusan?" Wisnu terkekeh meledek. "Eh, sori ... gua yang larang Kiki buat ikut kalian."
"Asep udah ketemu?" sahut Tian. Pemuda ini langsung berdiri dari kursinya.
Kalva, Niki, dan Ramdani hanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang mereka pikirkan secara bersamaan; berapa lama kami keliling cari pos?Empat orang apanya?Mereka yakin berlima, kok!
"Kenapa kalian bertiga diem aja?" desak Wisnu. "Ian?"