Bahkan ketika kamu tutup telingamu,
kebisingan yang memekakkan itu nggak bisa dihentikan.
Ada banyak warna aura,
seperti corak warna.
✉✉✉✉✉✉
Sejak mendapatkan diagnosis kalau dirinya terkena demam tinggi, membolos sekolah selama dua hari-setidaknya sampai hari ini terhitung sudah tiga hari dirawat inap sejak Sabtu lalu-sampai tidak kembali ke kosan sama sekali karena memilih pulang ke apartemen sang kakak.
Kiki yang diketahui rentan sakit itu diungsikan oleh kakak tertuanya ke rumah sakit untuk menjalani pemerikasaan dan pengobatan di rumah sakit swasta terdekat.
Kakaknya, sebut saja Herdi, duduk sambil mengupaskan jeruk untuk adik laki-lakinya yang terbaring dengan selang infus vitamin di tangan kirinya.
"Tadi Aa ke sekolah dan ketemu wali kelas kamu, katanya beliau bakalan jenguk hari ini sama temen-temen kamu, tapi agak malem."
"Harusnya nggak perlu," balasnya dengan malas.
Berdecak kesal. "Sekolah baru kamu luas juga, ya. Katanya ada katering makanan sehat juga khusus buat siswanya ... tapi, kenapa kamu sampe sakit begini?"
Ada jejak ketidaktahuan antara kondisi Kiki yang tumbang sampai harus dilarikan ke rumah sakit, hingga ketidaktahuannya tentang kelebihan yang Kiki miliki.
"Kamis kemarin ada acara sekolah sampe malem, Kiki kena angin sore dan kalo kata Ambu sih lagi rawan." Mendadak gaya bahasanya berubah, kebiasaan berbahasa di sekolah.
Lama tak berjumpa dengan kakaknya sendiri juga mempengaruhi perubahan Kiki. Meski dirinya agak berbohong untuk kondisi sebenarnya, nyatanya Kiki hanya tak ingin membuat kakaknya panik.
"Ambu bilang rawan?" ulangnya agak bingung. "Rawan apaan?"
"Rawan anu ...," gumamnya. "Pokoknya, Iki capek aja, Kang. Oh, iya ... telat makan juga, haha." Tertawa kaku.
"Nih, makan vitamin C alaminya." Meski terkadang Herdi dibuat kesal dan selalu ingin mengusili adiknya yang kini beranjak dewasa, Herdi khawatir dan kalut saat kepulangan Kiki ke apartemennya dalam kondisi lemah serta pucat.
"Nuhun."
Selagi menghabiskan camilan sehat, Kiki juga mengamati ke luar jendela. Ada hamparan taman bunga di bawah sana. Sambil melamun, Kiki merasakan ketenangan dalam hiruk pikuk yang terjadi di dalam ruangan ini.
Bukan main, Kiki tidak berdua atau berlima saja di ruangan yang terdapat lima bangsal ini. Ada banyak dan 'mereka' seperti masih hidup, berkeliaran, dan beraktivitas seperti biasa.
Hari mulai larut. Tirai tertutup, lampu mulai dinyalakan di seluruh ruangan. Meski awalnya rasa takut itu mengikutinya belakangan hari, Kiki mulai membiasakan diri dengan hidup dan melihat mereka secara berdampingan.
Di antara mereka tidak begitu agresif dan cenderung bersikap seperti Kiki yang dibuat terkejut dan sedikit takut. Meski begitu, Kiki tetap bisa merasa tenang.
"Gimana demamnya? Masih tinggi atau udah mendingan?" tanya Herdi saat kembali dari luar kamar.
"Udah mendingan, tapi masih pusing dan lemes, Kang."
Meringis dalam kebingungan. "Kamu yakin cuman kecapean aja? Apa jangan-jangan kamu kena DBD, tah?"
"Ya, nggak tau atuh, Kang. Tanya dokter aja sana!"
Adik dan kakak satu ini, benar-benar. Herdi dengan tanpa merasa bersalah malah terkekeh geli. Meski tubuhnya lemas, adiknya ini masih memiliki tenaga untuk melemparkan kemarahannya yang memang selalu meledak-ledak.
"Kamu Aa tinggal pulang gapapa? Aa mau ambil baju, dan sekalian ambil dokumen." Herdi tidak ingin meninggalkan Kiki sendirian, tetapi ia juga memiliki pekerjaan lain. Kiki memang prioritasnya, tetapi ada pekerjaan yang menunggu.
"Gapapa, Aa pulang dan nggak balik lagi juga gapapa. Ada perawat di sini, jadi nanti tinggal bilang aja sama perawatnya."
"Bener, nih?"
"Y."
Herdi tersenyum simpul. "Iya, iya. Nggak akan lama, kok." Saat benar-benar hendak pergi, Herdi malah terdiam sambil menatap lekat adiknya. "Kamu punya pacar di sini?"
Sontak membuat Kiki bengong dan cepat menggeleng. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
"Tadi pagi pas mau pergi dari sekolah, ada perempuan geulis nyamperin Aa. Dikirain mau minta nomor hp 'kan ... siapa tau gitu." Malah bergurau. "Terus dia tanya: "Kiki nggak sekolah, Kak?" Aa kaget, dong. Kok dia tau Aa ini kakak kamu. Terus Aa iyain aja, abis itu buru-buru pergi karena Bos memanggil di kantor."
"Cewek? Rambutnya pendek apa panjang?"
Herdi terdiam sesaat. "Panjang mungkin? Eh, nggak! Rambutnya pendek, dan wajahnya kayak pucat gitu. Kenapa dia masuk sekolah kalo wajahnya pucat? Jangan-jangan dia maksain diri ke sekolah buat ketemu kamu, Ki!" Ia sempat berpikiran buruk tentang adiknya. Seperti: "Kamu lagi marahan sama pacar kamu?"