☁✎✉
Tinitus dan semua bayangan-bayangan asing yang terputar di kepalanya secara penuh itu membuatnya mengerang kesakitan. Perlahan rasa sakit itu terasa nyata, perasaan bahwa yang terjadi kepadanya itu sungguhpun tidak adil. Ia menjadi marah dari rasa sakit yang menyesakkan. Marah dan kemudian menjadi dendam yang bertambah, seiring rasa sakit yang diterimanya.
"Jadi, selama ini yang Rara kira cuman mimpi doang itu ternyata kehidupan Rara sebelumnya?" Kegetiran dalam hidupnya yang mulai enggan ia terima ini mengantarkannya kepada emosi gelap yang terlarang.
Sejatinya emosi itu tidak baik jika dipeluk erat. Namun, baginya jika dipeluk saat ini akan mengantarkannya pada hal yang melegakan. Sepintas, dirinya merasa kosong dengan pikirian melanglang buana tentang bayangan di mana dirinya terjatuh itu.
☁✎✉
"Yo, Asep!" sambutnya. "Kita perwakilan Oto-3 bersama Pak Bos kita yang kece sampe ke tulang telah datang." Menyingkap tirai putih gading itu dengan sekali tarik. Ramdani dan wajah tersenyum lebarnya berubah melongo.
Tidak ada orang di bangsal itu. Mana diperhatikan oleh pasien lain, suara membahana dari ketua kelas 12 Oto-3 itu membuat pasien dan wali mereka berbisik-bisik tetangga.
"Kiki pasti lagi ke toilet, kita tunggu aja, ya, nak-anak." Pak Khairen angkat bicara dan kemudian menyimpan bingkisan buah ke nakas di samping bangsal yang diduga milik Kiki.
Kalva celingukan. "Apa jangan-jangan kita salah masuk kamar, Pak?" Tiba-tiba memperkeruh suasana. Kalva dan pikiran berlebihnya. Kalva tiba-tiba melesat entah pergi ke mana.
Mana sampai membuat Pak Khairen menarik kembali bingkisan saking ikut terbawa pikiran berlebihan anak didiknya. Ia berdiri membelakangi anak-anak sambil berusaha mengingat ruangan dan lantai kamar inap milik Kiki dalam pesan bersama walinya Kiki.
Wisnu dan Tian saling pandang. Wisnu yang angkat bicara. "Pak Bos kita kenapa? Tadi, kan, dia udah simpen bingkisannya di meja. Kenapa diambil lagi?" tanyanya kepada Tian.
"Tuh, kan!" Kalva kembali datang setelah keluar sebentar untuk memastikan nama pasien di depan ruangan. "Nggak ada nama Kiki di ruangan ini, Pak."
Serentak, mereka menatap Pak Khairen dengan lirikan yang sulit diartikan.
"Ya ... ya, sudah kita keluar dan cari ruangannya Kiki. Maaf, ya, henpon saya padam dan lagi diisi daya di mobil. Ayo, kita keluar." Menggiring anak-anaknya dalam rasa malu yang sangat memalukan sampai ke tulang.
Singkat, tetapi sopan. Pak Khairen masuk kembali ke ruangan tadi. "Maafkan kami, ya, bapak dan ibu semua." Membungkuk sopan dengan senyuman merasa bersalah dan malu yang bersatu padu.
Malam itu, mereka berkunjung sampai jam kunjungan habis. Merek menemani Kiki dan berusaha menghibur pemuda itu dengan berbagai lelucon dan kisah yang membuat Kiki berpaling dari rasa takutnya terhadap kelebihan yang dimilikinya.
"Lo bisa gambar?" Kalva menarik sebuah buku gambar yang diduga milik Kiki.
Kiki mengangguk antusias.
"Entar pas pelajaran seni, lukis gua ya. Kalo perlu kita semua, sekelas. Oke, ya, oke, deal!" Ramdani pemaksa Juanda kembali beraksi.
"Lo ada bakat terpendam juga, nih, selain sixth sense yang meresahkan itu, Ki." Tian menyahut dan terkekeh.
"Pantas nilai desain kamu yang paling tinggi sampai mengalahkan pentolan Oto sebelah, siapa itu namanya? Didit?" Pak Khairen juga ikut menyahut.
"Aditya, Pak Bos." Dengan kompak. Mereka terkekeh bersama.