Enigmatic Soul

Nanas-imnida
Chapter #22

Bagian 5: Ruin Everything Good

☁✎✉

Menatap pantulan diri pada cermin di pojok ruangan, sambil membenarkan posisi kerah kemeja yang sengaja ia keluarkan mengganti lapisan leher dari sweter berwarna hijau bergaris hitam. Tidak mengenakan seragam sekolah, padahal hari ini ada jadwal kelas seni yang paling dinantikan. Kiki tersenyum tipis menatap tampilan dirinya.

"Titip salam ke Ambu, Aa nggak bisa bantu karena ada rapat penting." Herdi muncul dari balik pintu kamar Kiki.

Setelah memaksa adiknya untuk tinggal bersama dan mengusulkan untuk menabungkan uang yang diperuntukkan sebagai biaya kos Kiki, Herdi berhasil membawa adiknya yang entah kenapa agak keras kepala itu tinggal bersamanya di apartemen luas ini.

"Iya, tenang aja. Salamnya sampe ke Ambu, bahkan ke makam Enin sekalian," sahut Kiki. "Kiki mau ke sekolah dulu, Akang nggak usah anterin." Kiki menarik tas yang ada di kursi dan memakainya. Berjalan ke luar kamar dengan langkah diseret.

Kiki harus pulang ke kampung atas desakan Ambu. Maka, mau tidak mau ia harus absen sekolah hari ini. Tujuan pertamanya adalah sekolah, selain untuk bertemu wali kelas dan mengatakan alasan absennya hari ini, Kiki juga berniat pergi untuk menemui seseorang.

Orang yang Kiki marahi karena telah menyalahkannya tanpa tahu keadaan sebenarnya. Di saat begini, Kiki merasa dirinya pecundang yang protektif.

Sambil memasang earpods dan menyalakan satu playlist andalannya pada pagi hari, berjudul 'Bendera' yang dengan bangga ia sukai dari band Cokelat. Sarat akan makna kehidupan, dan semangat juang yang tinggi, serta rasa hormat kepada seseorang yang telah berjuang mengibarkan sang saka merah putih.

Selain karena makna liriknya, Kiki mendengarkan judul tersebut agar fokus dan perhatiannya tidak tercampur dengan dunia sebelah. Di sepanjang jalan, di dalam angkutan umum, hingga di setiap pepohonan yang ia lewati ada saja di antara mereka yang berdiam diri, dan sambil menatap setiap pergerakan Kiki.

Saat sampai di sekolah, sebuah tepukan di bahu ia rasakan. Sebelumnya hanya sebuah panggilan yang mirip sekali dengan seseorang, tetapi Kiki tidak menggubrisnya karena tahu itu bukan dari mereka yang masih hidup.

Namun, ternyata itu dari Fanya yang berdiri dengan tidak nyaman dan terpasang plester luka di kakinya. Kiki jelas terkejut, setelah berhari-hari tidak menampakkan diri kini Fanya berdiri di hadapannya dengan kondisi yang terlihat kurang baik.

Mereka berbincang sebentar, lalu Kiki berjalan meninggalkan gadis itu di sana. Rencananya Kiki akan mengizinkan lagi gadis itu untuk ikut bersamanya ke kampung halaman, tempat keduanya menghabiskan masa kecil mereka untuk kedua kalinya.

Kiki tidak ke ruang guru, tidak juga ke ruang kelasnya, pemuda ini berjalan dengan cepat menaiki tangga menuju lantai teratas gedung kelasnya. Seandainya orang itu ada di sana, Kiki akan membawanya juga. Akan tetapi, di sana tidak ada siapa pun.

Lihat selengkapnya