Hari yang asing terus berulang.
Mereka mencoba mengubahmu.
Nggak ada yang bisa menghentikannya.
Di dalam sana, itu mulai terasa mematikan.
Saat aku mencoba melihatmu.
┈────────────── ೄྀ࿐ ˊˎ
Suatu hari, selepas menghilang dari pandangan Kiki. Rara pergi menemui seseorang yang kebetulan tengah duduk memperhatikan jalanan yang penuh di sore hari.
Sore menjelang gelap tiba adalah waktu yang paling menyenangkan untuk disambut, karena pada waktu tersebut mereka bisa bebas menggunakan bangunan dan tempat untuk bermain atau berkeliling tanpa merasa risi dengan mereka yang masih hidup dan beraktivitas pada terangnya matahari.
"Maria bilang kalau kau bisa segera meninggalkan dunia kami sekarang, tapi kenapa kau malah selalu kembali dalam wujud yang sama dan permasalahan yang serupa, Rara?" Anak kecil berbaju putih dan hiasan pita bunga di pinggang yang amat cantik itu duduk di dengan kaki mengayun-ayun.
Rara menarik napas dan menghela dengan panjang. "Nggak tau, Neta," balasnya agak kesal.
"Ah~, ternyata sedang kesal, ya?"
"Nggak."
"Apa kau ingat sesuatu tentang dirimu?"
Rara terdiam, menoleh ke samping kanan tempat anak kecil bernama Marioneta itu dengan tatapan kosong. "Ingat. Aku seorang pelajar, aku punya saudara perempuan yang sudah meninggal, dan aku ingin menemukannya, tapi aku nggak tau." Menghela napas lagi. "Aku meninggal karena ... karena apa, ya?" Tiba-tiba tidak mengingatnya.
Marioneta menatap kepada Rara dengan sorot tajamnya. "Harusnya kau ingat, biar bisa kembali." Mengucapkan kalimat singkat tanpa mau menjelaskannya secara detail kepada Rara.
"Maksud kamu?"
"Hanya itu yang bisa kukatakan padamu, Rara." Nyengir dengan lebarnya. "Ayo, malam ini Hansel akan mengundang kami untuk menelusur lagi! Ah~, setelah sekian lama ... aku sangat ingin memberanikan diri untuk melawan wanita jelek seperti malam itu di sekolah. Kamu ingat, kan?"
Rara mengangguk. "Kamu memang anak kecil yang pemberani, ya."
"Harus, karena aku sangat tidak suka kepada mereka. Aku juga tidak suka jika Chio menangis kencang karena wanita jelek. Kami jelas tidak suka wanita jelek itu karena mereka selalu ingin membawa kami dan pada akhirnya mereka akan memakan kami, memakan energi kami."
Marioneta menatap Rara sambil terdiam cukup lama setelah kalimatnya barusan. "Kau juga harus berhati-hati, kau harus mengendalikan dirimu, pokoknya berhati-hati sajalah. Apa pun akan terjadi walau keadaan kita seperti sekarang," peringatnya dengan bijaksana. "Neta selalu ingin bertemu Mama dan adik kecil, tetapi Neta juga tidak bisa menemukan mereka."
"Jadi, alasan kamu masih di sini, karena Mama?" Rara teringat sesuatu. "Victor juga bilang begitu ke Rara. Kalian masih kecil dan tidak mengerti apa-apa saat itu, pasti sangat sulit ketika berada dalam himpitan penyerangan kala itu, ya ... dalam sejarah juga kalau bangsa kalian dibantai tak bersisa," katanya. Rara terdiam cukup lama.
"Kau bisa tau bangsa kami habis dibantai dari mana? Kupikir orang-orang tidak pernah tau?" Marioneta kebingungan dan mulai gelisah. "Apa jangan-jangan kau ingat?"
"Eh?" Rara terbengong. "Pokoknya, seingat Rara itu ada di buku sejarah. Ketika Jepa—maksudnya, Nippon sampai di Bandung, tentara berpedang itu memperlakukan pribumi dan bangsa kalian dengan sangat tidak baik, kejam sekali pokoknya. Tapi, setelah merdeka ... semuanya terasa tidak begitu mencekam meski ada banyak tempat peninggalan yang memiliki sejarah suram di dalamnya."
"Wah, kau pasti murid yang pandai, ya? Bagaimana bisa seorang anak yang jatuh dari ketinggian sepertimu sepandai ini? Apa dulu kau juara kelas?" Marioneta malah terkesima dengan cara Rara menjelaskan bagian dari sejarah yang sungguh pun tidak dimengertinya sama sekali.
Anak perempuan ini pandai menyanjung dan membuat orang lain senang, meski wajahnya congkak dan antagonis yang terkesal jahat dan menyebalkan, tetapi Marioneta adalah anak baik yang menyayangi sesamanya.
Rara terkekeh. "Nggak tau, Rara cuman merasa nggak asing, dan mencoba untuk mejabarkannya dengan bahasa sendiri tanpa bisa mengingatnya lebih. Mungkin Rara suka sejarah, jadi bisa tau tentang bangsa kalian dan pribumi."
"Kau tetap murid pandai kalau begitu," katanya agak memaksa.