☁✎✉
Melihat Kiki berjalan tergesa sambil memegangi lehernya membuat rasa ingin tahunya tergugah. Mendekati Wisnu, lalu segera mengajaknya untuk bicara. Pada jam kosong seperti kali ini membuatnya tidak tahu harus berkeliaran ke mana, manalagi hujan deras, dan seakan teringat tentang malam itu yang masih membekas dalam benaknya. Malam di mana ia mengalami kejadian yang kalau dipikir-pikir ulang memang janggal.
"Si Asep kenapa?" Ramdani menghampiri Wisnu. "Nu, malam itu lo yakin si Asep ada di UKS dan nggak gabung sama gua dan anak-anak?"
Wisnu mengangguk yakin, memang itu kebenarannya. Namun, Wisnu juga terheran ketika kelompok dari kelasnya mengaku pergi bersama Kiki malam itu. Diketahui, semenjak kejadian malam itu mereka tidak ada yang berani menceritakannya. Belum berani karena masih dibayang-bayangi pertanyaan dan parno yang terus-menerus menciutkan nyali.
"Semua, kumpul ke sini!" Ramdani mengajak semua anggota kelas untuk berkumpul. "Cepetan, gua bakalan berani bicara sekarang, malam itu alasan kenapa kelompok kelas kita jadi bahan omongan panitia adalah karena ...." Menatap satu per satu anggota kelasnya dengan sorot serius. Ramdani berdiri di samping Wisnu yang duduk anteng di kursinya. Ramdani mulai mengatakan detailnya dan menjelaskan kejadian malam itu.
Sesekali, Kalva dan Tian juga ikut menyahuti dan membenarkan ucapan Ramdani. Sedangkan itu, Niki hanya diam sambil memangku kepalanya dengan satu tangan, mendengarkannya tanpa banyak menyela. Meski begitu, Niki juga sempat memikirkan hal yang sama dengan mereka bertiga.
"Malam itu, gua sempet lihat cewek, sih. Di deket ruangan musik, itu ruang seni, kan? Nah, di sana ... sekilas gua lihat cewek, buru-buru gua ajak Kalva balik buat ke tempat yang lain aja. Mana di ruangan itu, kan, paling pojok di sekolah, katanya sering ada kejadian ganjil."
"Ceweknya cantik?" tanya Jino.
"Nggak tau, tempatnya gelap. Tapi, gua bisa lihat kalo rambut dia pendek sebahu. Berdiri di depan pintu ruangan sambil natap ke atas gedung Tekstil, deh, kayaknya." Ramdani lagi-lagi berbicara dengan berani.
Lalu, lampu berwarna putih itu tiba-tiba berkedip beberapa kali sebelum akhirnya padam. Mereka semakin merapatkan diri satu sama lain dengan pola melingkar dan berkumpul di tengah ruangan.
"Apa lampu-lampu ini ngasih isyarat kalo ucapan Ketua bener?" ujar Jordan, ia melangkah lebih maju karena posisinya paling belakang.
Guyuran hujan makin terdengar begitu derasnya saat Kiki berada di luar. Napasnya terengah-engah, Kiki berusaha menghirup lebih banyak lagi udara dari luar kelas yang membuatnya sesak entah karena apa. Aura dan energi yang dirasakannya membuat Kiki tiba-tiba seperti itu, seakan-akan Kiki tidak asing dan hal itu membuatnya sesak. Seperti trauma.
Saat matanya menatap ke bawah sana, tepat ke lantai lapangan yang basah dan cenderung becek itu, tiba-tiba ada asap hitam melesat cepat dengan arah lurus entah ke mana. Kiki terpaku, tidak sempat bereaksi, tetapi degup jantungnya berpacu dengan cepat begitu melihatnya. Kiki bertanya-tanya, apa itu barusan dan mengapa dirinya merasa familiar dengan aura yang terasa dari sosok asap barusan?
"Akhir-akhir ini saya sering sesak tanpa alasan yang jelas. Kenapa sepulang dari rumah Ambu lima hari lalu bikin saya nggak karuan gini?"