☁✎✉
Di sinilah Kiki dan beberapa teman sekelasnya berada. Katanya, mereka ingin membuktikan diri jika ucapan Kalva dan Ramdani tentang malam festival sekolah adalah benar. Kalvana bertaruh siapa yang keluar karena ketakutan dialah yang menang, sebab Kalvana benar-benar akan melakukannya.
Mereka ingin percaya, tetapi pembuktian juga dibutuhkan. Lihat saja nanti, siapa yang benar mengenai betapa mencekamnya uji nyali dan siapa yang gagal saat uji nyali. Jika dia baik-baik saja, dia dinyatakan kalah oleh Kalvana. Konyol memang.
"Karena ini diadakan sama si Akang waktu itu, gua berani jamin kalo mereka pasti simpen satu hantu di area ini." Ramdani angkat bicara saat tengah antre.
"Wah, kalian ini dari Taruna, kan?" Tiba-tiba seseorang menggubris keberadaan anak laki-laki dengan pakaian kasual mereka. Tidak menduga ada yang mengenali. "Kalian pasti penggemar beratnya Hansel, ya." Terkekeh.
"Nggak, Teh. Kita cuman pengen main aja ke sini," balas Kalva. "Jadi ini wahana cara mainnya gimana?" Kalva dengan berani menggantikan Ramdani untuk berbicara.
"Kalian tau, kan, labirin atau kabin pesawat di gim Among Us?" tanyanya terlebih dahulu.
"Tahu."
Perempuan ini tersenyum ramah. "Wahananya dibuat kayak labirin gitu dari lorong ini sampai ke taman belakang. Nah, karena konsepnya kayak Among Us, jadi kalian bakalan ada misi buat ketemu talent hantu kami, dan harus dapetin kunci dari mereka biar kalian bisa keluar dari pintu labirin." Menjelaskannya dengan pelan. "Kalo gagal, tenang aja ... ada jalan lain tanpa kunci, kok. Namun, sebaiknya kalian dapetin kunci dari talent. Caranya, kalian harus selesain teka-teki supaya ketemu talent yang punya kunci."
Mereka bergeming. Kecuali Kalva yang terlihat gemas sendiri ingin menyela. "Teh, di gim, kan, ada impostor-nya tuh ... terus ini kita cuman sebagai crewmates doang, nih? Terus impostor?"
Perempuan yang berjaga dengan pakaian hitam putihnya itu seketika dibuat tertawa. "Nggak kok, kalian nggak perlu jadi apa-apa, tinggal jadi peserta dalam misi. Silakan," katanya mempersilakan ulang. "Kalian bakalan dikasih penjelasan lebih setelah masuk," lanjutnya. Sambil menyerahkan sebuah pin bulat yang katanya, sih, sebagai tanda terima.
Seperti arahan dari penjaga perempuan yang entah siapa namanya itu, mereka masuk. Total dari mereka ada sebelas; Kalva, Ramdan, Niki, dan Jordan ada di barisan depan. Sementara di barisan kedua ada Yuma, Doni, Rafa, dan Jino. Sementara paling belakang ada Tian, Wisnu, dan Kiki yang ditemani perempuan itu di samping kanannya.
"Saya udah punya firasat buruk, kamu bisa ngerasain, kan? Kayak ada energi asing dan kayaknya ini nggak baik, deh. Apa saya gagalin rencana teman saya aja?" Kiki lagi-lagi berbicara dalam hatinya, merutuki hampir tentang hal yang sama sedari berbaris dalam antrean, berbicara dengan perempuan itu tentunya.
"Kayaknya seru. Aku nggak ngerasa ada energi buruk, cuman ada anak-anak bule di sini, mereka bakalan jadi talent jebakan. Mereka baik kok, aku kenal sama mereka," jawabnya. Ia sengaja memberikan pengertian agar Kiki tidak kentara takut.
Ada satu perempuan dari barisan yang berjarak dua orang di belakang Kiki yang berdiri mematung sambil menatap selidik. Menatap penuh tanya kepada dirinya sendiri mengenai Kiki dan perempuan berseragam sekolah bergensi itu yang berada di barisan depan. Ia bergeming dengan segala pikiran buruk yang mulai bermunculan. Ah, dan satu hal lagi. Perempuan ini bisa 'melihat'.
"Kenapa?"
Perempuan ini menoleh ke samping kirinya. Ada seorang laki-laki mengenakan hoodie hitam menatapnya dengan raut datar dan sorot yang cenderung tajam, tetapi tutur katanya lembut dan membuatnya nyaman. Ia tersenyum manis."Nggak, Kak. Cuman ngelamun biasa aja, dan tiba-tiba kangen Kak Puji."
Mendengar nama itu terlontar dari mulut perempuan itu, ia mulai geram. "Bukan lo aja, gua lebih kangen dia, tapi gua merasa bersalah. Lo tau nggak, sih? Lo nggak perlu lakuin ini sama gua. Kenapa lo cariin gua? Dan paksa gua buat ikut ke tempat beginian. Gua udah muak sama lo, perek!" Laki-laki ini meringis, menahan nada bicaranya agar tidak menarik perhatian pengunjung lain.
"Kak, kali ini aja," pintanya. "Kali ini aja, bisa nggak, sih? Lo bersikap baik sama gue. Berkat gue, kita bisa singkirin orang yang udah bikin Kak Puji pergi. Berkat gue—"
Ia menyeringai. "Berkat lo juga gua nyaris mati!" tekannya. Ia juga mengumpat dengan pelan, melampiaskannya dengan berujar kalimat kasar. "Anj—"