☁✎✉
Saat tengah berjalan dengan tujuan terus lurus tanpa belok, sayup-sayup Wisnu mendengar ringisan dan isakan di dekat sini.
Langkahnya melambat seiring suara rintihan itu makin jelas terdengar, jaraknya terdengar cukup dekat. Ia menyoroti jalanan di depannya dengan flash dari henpon. Entah sejak kapan jalanan yang dipijakinya berubah menjadi tanah rerumputan yang basah, sambil sesekali ia melirik ke arah kiri dan kanannya yang memiliki kesamaan, lorong sekat kain hitam dan gelap.
Suara derap langkah kaki terdengar jelas memekakan telinga, meski suaranya cukup jauh, tetap saja terdengar jelas. Tian menepuk bahu Wisnu, ia diperlakukan hal yang sama oleh teman-teman dari belakang.
Katanya, "Yuma denger suara langkah kaki kayak suara sepatu anak paskibra. Jalannya cepetan dong terus jalan jangan sampe di antara kita tertinggal lagi." Ini pesan dari Kalva dan bergilir sampai ke Wisnu.
Firasatnya sudah tidak karuan lagi. Wisnu dengan tekadnya memutuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan, melangkah lebih cepat dan penuh kehati-hatian.
Dalam kepalanya sudah bermunculan berbagai bayangan tidak menyenangkan, terlebih lagi Kiki menghilang. Wisnu merasa dirinya tengah ada dalam kondisi tidak masuk akal, padahal sedari tadi aman-aman saja, tuh.
Harapannya saat ini hanya satu, bertemu dengan Kiki, karena sepintas ia terpikirkan jika Kiki telah melakukan sesuatu dengan perjanjian konyol ini bersama teman-teman mereka. Perjanjian konyol yang diikrarkan Kalva saat tengah mengalami kejadian janggal di sekolah, perjanjian untuk membuktikan keberanian mereka.
Kiki. Kiki. Muhammad Asep Rizki.
"Kenapa dia harus ngilang, sih?
"Seandainya gua di belakang Kiki, apa gua bakal ngilang? Nggak!
"Nggak. Seandainya, seandainya gua nggak ikut. Seandainya mereka nggak ngeledek Kalva ... seandainya aja."
Wisnu melirik peta sekilas, sontak ia terbelalak. "Kita udah ada di jalan yang bener, ini persimpangan yang seharusnya ada di peta. Kita tinggal lurus aja dan langsung cari pos dari talent."
Di belakang, Tian terdiam sambil mengangguk setuju. "Lo semua denger, kan? Aman, kan, di belakang?"
"Oke!"
Di belakang, Yuma dan Kalva saling berbisik. Mereka memperpendek langkah. Dimulai dari Yuma, laki-laki itu meringis ngeri saat angin panas berembus tepat melewati tengkuknya.
Belum lagi suara derap langkah sepatu, suara benda berat diseret di atas tanah juga terdengar jelas dari belakangnya. Yuma berbisik dengan Kalva agar ia tidak merasa sendirian, jujur saja Yuma takut kalo tiba-tiba muncul hantu menyeramkan seperti di adegan film horo.
"Cepetan jalannya, dong! Aing merinding tapi panas juga ini." Yuma tiba-tiba terdiam.
Antara lega karena Yuma berhenti berbicara, tetapi ngeri juga saat tidak ada suara kehidupan darinya. Kalva memberanikan diri untuk melirik ke belakang. Yuma tiba-tiba mencengkeram bahunya dengan raut wajah tengah dan mata membelalak bulat. Kalva melihat sebuah tangan muncul dari balik bahu Yuma, tangan pucat dan penuh darah.
Kalva melirik kembali kepada Yuma. Lalu, Yuma bilang, "Jalan terus aja, jalan, Va. Ini gapapa, kok. Ini bilang kalo dia bakalan jaga kita dari kerumunan di depan."
Yuma kembali melangkah dengan ketegangan yang kentara di wajahnya, lengan di belakangnya, sosok yang ada di belakang, hanya menyentuh dan sesekali mendorong bahu Yuma saat langkahya ia perpendek karena tiba-tiba berasa sakit di bahunya.
Namun, ia tetap menahannya dan terus berjalan tanpa kata. Mengikuti jejak langkah yang Wisnu tujukan untuk mereka.
"Sial, kenapa gua harus ikut mereka kalo malam ini begitu sakral buat makhluk nggak kasat mata ini? Fiks, gua bego!" sesal Yuma.