Enigmatic Soul

Nanas-imnida
Chapter #31

Bagian 8: Déjà Vecu

☁✎✉


Di antara kabut nan tebal, jalanan yang remang itu seakan jauh. Jejak kehidupan di masa sebelumnya berbaur, menyatu dengan kehidupan saat ini. Di jalanan yang penuh dengan jejak kehidupan—seakan saling tidak mengacuhkan—dan mereka terdiam dalam tatapan yang mengamati tanpa henti.

Lima belas menit lalu hujan mengguyur habis kota ini. Mengurung dua insan berbeda dunia itu di halte bus yang tidak jauh dari area sekolah. Kini bus telah datang, Kiki naik tanpa melepas genggamannya dengan gadis itu.

"Kamu nggak jawab pertanyaanku tadi. Kenapa Rara harus ikut?" Menuntut jawab.

Kiki hanya diam. Ia duduk di kursi paling belakang, di sampingnya juga duduk gadis itu. Selain mereka, hanya orang-orang yang baru pulang dari tujuan hari ini dengan rencana masing-masing.

"Kalo saya bilang: Saya takut karena di rumah ada sosok yang gangguin saya dan saudara saya, kamu mau bantu usir dia?"

"Seriusan ada hantu di rumah kamu?"

Kiki tersenyum tipis dan mengangguk.

"Em, tapi, Rara juga takut kalo sosoknya nyeremin kayak hantu waktu itu." Rara meringis. Wajahnya benar-benar menyiratkan ketakutan ditambah cebikkan ngeri.

Kiki tertawa sambil memalingkan wajahnya ke jendela.

"Eh, kenapa ketawa?" Dilihatnya Kiki hanya menggeleng pelan, gadis pucat kesi ini kesal seketika.

Di perjalanan, mereka berdua berbincang tentang keadaan sekitar dan jalanan kota yang mereka lewati menggunakan bus ini.

Sesekali, Kiki membuat Rara tertawa karena lelucon yang sebenarnya tidak begitu menyenangkan, tetapi justru malah membuat gadis itu tertawa dan menunjukkan sisi dirinya yang lain. Sisi lain dari gadis itu membuat Kiki merasakan getaran aneh.

Begitu sampai di area rumah susun cukup mewah, Kiki malah fokus dengan ponselnya. Meski begitu, ia tetap menggandeng sebelah tangan gadis itu, sementara tangan kanannya memegangi ponsel. Kiki tampak fokus dengan raut tegas.

"Ki, sebenernya kamu nggak usah kasih tau Rara tentang masa lalu Rara. Sekarang, Rara cuman tinggal nunggu dijemput sama Ayah." Tatapannya kosong ke depan, dengan pelan ia mengangguk yakin.

"Rara yakin kalo Ayah bakalan jemput Rara. Jadi, kamu nggak usah ceritain tentang masa lalu Rara. Kalo sampe Rara ingat, Rara takut bakalan kayak malam itu, Rara pasti nggak bisa tahan diri kalo nggak ada Maria."

Pemuda itu tidak meresponnya. Masik fokus dengan ponselnya, jemarinya dengan lihai menekan papan ketik di layar ponsel. Kiki benar-benar fokus dengan ponselnya. Seseorang tengah mengirimi Kiki pesan yang berisikan keadaan darurat.

Saat ini, mereka berdua tengah berjalan menaiki tangga untuk mencapai ke lantai tiga yang ada di luar gedung. Sengaja, Kiki sengaja menaiki tangga agar tidak berpapasan dengan penunggu di depan lift lantai satu dan dua. Kiki malas dibuatnya.

Rara melirik ke bawah, tangannya dicengkeram erat oleh Kiki, ia tersenyum samar. Namun, seketika itu juga genggamannya terlepas. Kiki menghempaskannya dan langsung berbalik arah dengan langkah besar.

Rara terpaku, dilihatnya Kiki tengah mendekatkan ponsel ke telinganya sambil melangkahkan kakinya menjauh. Dilihatnya pemuda itu tengah tergesa-gesa menuruni kembali lantai tangga. Kiki meninggalkan Rara yang berdiam diri di puncak lantai tiga tanpa kata.

"Ki!" teriaknya. "Ki, kamu mau ke mana?"

Kiki tidak menggubrisnya dan terus melangkah pergi.

Rara menatap kepergian Kiki sorot yang sulit diartikan, alisnya saling bertaut menciptakan kerutan pada area keningnya. Seakan tengah menerawang, Rara mendapatkan sepintas ingatan setelah kepergian Kiki.

Gemuruh mengguncang bumi, sepertinya hujan deras beberapa saat lalu belum benar-benar berakhir. Gelap merayap. Lampu yang menyala itu berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Lampu dengan sensor gerakan.

Rara bergeming saat mendapatkan pratinjau yang samar ini di kepalanya.

Lihat selengkapnya