☁✎✉
"Kak, Abim takut ... Kak, kayaknya malam ini kakak tersayang Abim beneran nyerah sama hidupnya."
Sepintas lalu, setelah menyambungkan panggilan langsung kepada laki-laki yang kapan hari ia temui di rumah sakit, dan tanpa basa-basi lagi Kiki pergi hendak menemuinya.
Meski belum ada satu bulan mereka berteman, bertemu pun jarang. Kiki dibuat khawatir dengan keadaan terkini dari teman barunya itu. Terlebih lagi, setelah mendengar semua curahan terpendam dari temannya mengenai kakak perempuan itu cukup menyayat hati Kiki.
Meninggalkan Rara tanpa ia sadari. Kiki kehilangan fokusnya terhadap Rara pada detik itu juga. Saat sebuah pesan intens dari temannya masuk di antara ruang percakapan keduanya.
Pesan yang berbunyi: "Kak Rara kritis lagi setelah Abim bacain novel kesukaan dia. Gimana ini? Apa dia bakalan meninggal malam ini? Abim harus gimana?"
"Saya ke sana. Saya lagi di bus yang lewat rumah sakit," kata Kiki melapor selama perjalanan. Panggilan di antara mereka berdua belum terputus, tidak, Kiki sengaja tidak menutupnya. Membiarkan suara tangis pilu itu didengarkannya. Kiki merasa bertanggung jawab entah karena alasan apa.
"Kak, kalo semisal dia beneran menyerah, malam ini adalah terakhir kalinya dia dengerin novel kesukaan dia." Isakan pilu itu sesekali keluar dan terdengar oleh Kiki.
"Jangan berpikiran begitu, pikiran buruk bisa jadi doa nantinya. Doakan dan pikirkan hal-hal terbaik untuk kakak kamu, Bim."
"Nggak bisa, Kak! Adisti itu keras kepala, kalo semisal dia nggak mau bertahan pasti dia nggak akan pernah mau bertahan lagi. Dia pengen bikin kita menderita kayak gimana lagi, sih?" Abim merengek.
"Dia pasti mau bertahan, Bim." Entah harus bagaimana Kiki menghiburnya.
"Tau nggak, Kak?" tanyanya di seberang sana. "Selama ini, Abim nyesel karena mendahulukan ego sendiri daripada bersikap peduli secara langsung di depan dia. Di saat terburuk kayak gini, Abim cuman bisa nyesel karena udah bikin Adisti ada dalam kondisi terburuk lagi ... Abim nyesel karena menjadi sosok adik yang nggak baik buat dia."
Kiki bergeming. Matanya berkaca-kaca. "Nggak bisa begini! Harusnya kamu nggak berpikiran buruk. Tunggu sampai saya tiba di sana."
Bus melewati jalanan tengah kota dan mulai memasuki area elit yang katanya menjadi salah satu area terbaik di kota. Kiki hampir tiba di perhentian terakhirnya, rumah sakit swasta yang pernah ia sambangi saat kondisi tubuhnya berada di level terburuk.
Tanpa memedulikan rintikan hujan, Kiki berlarian ke area gedung bercat putih besar itu. Dengan pakaian yang sama, seragam sekolah hari Rabu; batik sekolah yang berwarna gelap; dengan polesan warna emas untuk bagian batik awan; dan bunga berserakan.
Sirine dari ambulans yang pergi dari pintu di sebelah utara terdengar nyaring ke penjuru area manapun. Meski begitu, Kiki tidak gentar melangkahkan tungkainya dengan lebar, mengabaikan sapaan dan ucapan-ucapan memohon dari sosok-sosok yang memenuhi rumah sakit.
Sosok yang muncul dengan berbagai kondisi mengerikan. Kiki mengabaikannya dengan segenap keberanian yang lebih dominan dibandingkan rasa takutnya.
Di lobi lantai satu, Abim duduk pada salah satu kursi tunggu. Meninggalkan kekacauan di ruangan inap kakaknya yang ada di lantai dua. Ia melarikan diri dari kemungkinan kabar buruk yang akan ia dapatkan, ia tidak sanggup mendengarnya secepat itu.
"Nggak!" tegasnya.
Air mata meleleh dan berjatuhan, membasahi kulit wajahnya. Bibirnya dia tutup rapat-rapat agar tidak ada isakan yang lolos dari sana, tidak akan pernah ia meloloskan isakan sialan itu.
Hidungnya kembang kempis kemerahan. Matanya menerawang kepada setiap kenangan bersama seseorang yang sangat disayangi, kenangan paling berharga yang pernah dimilikinya.
"Nggak! Abim nggak boleh lemah begini. Kalaupun Adisti nyerah malam ini ... Abim nggak boleh lemah, kalau emang iya dia nyerah hari ini ...." Kata-katanya menggantung di udara.
Isakan kecil lolos, segera ia menahan segala sesak. Merasakan pedih menghimpit dadanya, ia tertunduk lesu. Air matanya masih saja meleleh bahkan berulang kali ia usap sekali pun.
"Kalo dia nyerah hari ini ... Abim harus gimana?" Abim menunduk sambil menatap kosong ke lantai bening itu. Tiba-tiba saja melihat sepasang sepatu kets berwarna putih yang berhenti di depan tubuhnya.
Masih dalam keadaan menunduk, Abim menangis. Lama berada dalam situasi hening membuat Abim kembali menerawang kepada kenangan yang ia lalui bersama kakaknya, berkat sepatu kets putih.
Hari itu, kakaknya juga mengenakan sepatu kets putih ketika mereka menghabiskan liburan semester. Hari itu langit cerah hingga pukul dua siang, tiba-tiba hujan turun dengan deras hingga membuat sepatu mereka basah dan kotor terkena lumpur jalanan perbukitan.