Senja hari itu, Kiki memutuskan untuk memberanikan diri menggunakan kembali kemampuannya.
Kemampuan yang sudah lama ia hindari demi keselamatan dirinya, yaitu melihat bayangan masa lalu sosok atau seseorang yang ia tatap lekat manik matanya.
Umumnya kemampuan ini dilakukan dengan kontak fisik, tetapi Kiki memiliki cara lain, yaitu menatap matanya.
Kemudian, awal dari keberaniannya senja hari kala itu membuat Kiki cemberut tidak suka. Entah karena alasan apa, rasanya iri dan tidak suka saja.
"Aku keinget sesuatu, deh," kata Rara. "Kamu pernah bilang, bisa lihat bayangan masa lalu, kan?" Sambil menarik sudut bibirnya naik, bahkan semakin lebar. "Wah, coba ceritain gimana itu maksudnya?"
Kiki bergeming, matanya kembali menatap lekat ke arah mata cokelat gelap milik gadis itu. Tatapannya menerawang.
Kiki diam saja saat gadis itu mengatakan banyak hal demi mengusir hening di antara keduanya, mungkin?
Kiki bisa merasakannya, sontak matanya terpejam secara perlahan. Di kegelapan dalam terpejam matanya, bagaikan sudut pandang yang dibubuhkan dalam gim realitas virtual, Kiki menyadari kemampuannya ini tidak seperti biasanya.
Ya, Kiki mengakui hal ini, sepertinya kemampuan Kiki semakin berkembang.
Bukan lagi melihat bayangan masa lalu, tetapi bagaikan masuk ke dalam dimensi masa lalu itu sendiri, dan ia masuk ke dalam bayangan masa lalu milik gadis itu.
Kini penglihatannya berada di dalam sebuah realitas virtual: sebuah lingkungan yang biasanya dihasilkan oleh komputer yang menyimulasikan realitas tiga dimensi.
Namun, Kiki berada di tempat yang tidak asing, dan tidak seperti buatan komputer melainkan tampak seperti dibawa ke suatu masa.
Tentu saja, tempat ini adalah bubungan atap yang mana kini pemandangan Kota terlihat dari atas sini. Bubungan atap sekolahnya.
"Jangan ngerokok lagi, Wan. Apa kata Bu Luna kalo ketua kelas sekaligus murid favorit dia satu-satunya dari Busana, ternyata berandalan yang pura-pura jadi anak baik?" Ini kalimat dari gadis itu.
Kiki bisa mendengarnya, bahkan mengenali suaranya, meski yang ia lihat hanyalah hamparan pemandangan yang tidak asing.
Bedanya, dalam bayangan ini sedang siang hari. Akan tetapi, ia tidak bisa melirik ke penjuru arah entah karena sebab apa.
"Sengaja," katanya, "sengaja mau bikin kamu marah. Soalnya gemesin sih kalo kamu yang marah, hehe." Suara asing ini memekakan di dalam pendengaran Kiki. Suaranya begitu dekat seolah seperti Kiki-lah pelakunya.
"Awan, kenapa kamu baik banget sama Rara?"
"Emangnya baik sama orang lain harus ada alasannya, ya, Ra?"
Gadis itu bergeming. Ia terpaku dengan keindahan kota dari atas sini.
"Ra, gua sayang sama lo. Gua berharap kita bisa lebih dari sekadar teman, teman sekelas, dan temen curhat aja—"
"Terus Sheara gimana?" Ada amarah yang entah mengapa meledak begitu saja. "Maaf, Rara lancang."
"Nggak." Menjawab tanpa ragu. "Nggak sama sekali, lo berhak marah kayak gitu, Ra."
Gadis itu terkekeh. "Rara nggak bisa bohong sama kamu tentang perasaan ini, Wan. Rara sebenernya suka sama Eza ketua MPK angkatan kita. Awan, Rara harap kamu nggak—"