Gadis itu tampak normal seperti yang lainnya.
Berpenampilan rapi, berwajah manis, sesuai dengan remaja seumurannya.
Hanya saja, ada sebuah rahasia yang dia sembunyikan dari dunia.
Rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya.
Mengenai kondisi hatinya yang berbeda dengan manusia normal lainnya.
Salah satu gedung fakultas milik kampus negeri terkenal di kota Anna tampak sangat ramai. Ratusan orang berkumpul di sana, memenuhi ruangan dan lapangan luasnya. Panggung yang cukup besar berdiri kokoh di tengah lapangan, menarik atensi para pengunjung. Puluhan bangku pun disediakan di depannya untuk siapa saja yang ingin menonton pertunjukkan hari itu.
Di sekeliling lapangan berjejer belasan booth usaha yang memajang dagangannya. Jika melihat sekilas dari luar, event ini tampak seperti bazar UMKM yang dimeriahkan dengan konser dangdut atau semacamnya. Namun, ini semua tidak sesederhana apa yang orang awam lihat. Orang-orang yang berkumpul di dalamnya pun berbaur karena memiliki kecenderungan yang sama.
“Wah, lihat-lihat! Cosplayer1-nya keren-keren!” pekik Anna yang berpenampilan rapi hari ini.
Jilbab berwarna abu muda, outer panjang berwarna biru yang menutupi kemeja putih di dalamnya, lalu rok hitam sepanjang mata kaki. Tak lupa kacamata berbingkai hitam tipis yang telah menemaninya dari awal masuk SMA. Semua itu adalah pakaian favorit Anna ketika sedang jalan-jalan bersama kawannya. Dresscode wajib baginya sampai orang-orang mengira dia hanya memiliki satu model baju. Padahal, alasan dia terus memakai pasangan pakaian itu karena itulah yang paling nyaman untuknya.
“Yah, walau nggak sekeren di Ibukota, tapi lumayan juga buat kota kecil kayak gini,” lanjut Anna sembari menepuk-nepuk pundak teman di sebelahnya. “Gimana, menarik banget, kan?”
Gadis berjilbab pastel yang lebih pendek dari Anna tak merespon tepukan kawannya di sebelahnya. Sahabat dekat Anna sejak awal masuk SMA itu sibuk dengan handphone-nya, memotret segala rupa yang ada di event ini. Nampaknya, dia tak mendengar kalimat Anna sama sekali.
“Hana, dengerin kalau ada yang ngomong, dong!” Anna mengguncang-guncang tubuh Hana dengan kencang saking kesalnya.
“Ah, iya! Maaf, maaf!” jerit Hana. “Habisnya, ini pertama kalinya aku pergi ke Japan Festival. Di kampung halamanku ada, sih, yang beginian. Cuma baru kali ini aku datang.”
Seusai mengatakan itu, Hana kembali sibuk mengabadikan momen. Potret sana, potret sini. Event bernuansa Jepang ini benar-benar menyita seluruh perhatiannya. Bagi mereka yang menyukai anime2, manga3, dan budaya Jepang lainnya, rasanya seperti berada di surga. Banyak merchandise dari judul-judul anime kesukaan mereka, makanan dan jajanan Jepang, hingga para cosplayer yang totalitas dalam penampilan mereka. Bahkan ada panggung untuk guest star yang menyanyikan lagu-lagu soundtrack anime.
Terlebih, mereka semua berkumpul dengan orang-orang yang satu frekuensi. Tak perlu khawatir dianggap sebelah mata atau apa, karena semuanya bersenang-senang bersama di acara ini. Termasuk Anna dan kedua temannya.
“Senpai4, mau ke mana dulu, nih?”
Satu insan lain menyelip di antara Anna dan Hana, bergantian menatap keduanya. Tingginya hampir sama dengan Anna, wajahnya pun tampak lebih dewasa, tapi siapa sangka kalau dia justru lebih muda setahun. Dengan kata lain, dia junior Anna.
Anna memutar bola mata, berpikir sejenak, “Icha, menurutmu lebih enak makan dulu atau berburu merch dulu?”