Sesuatu nampak asing karena dia tak pernah melihatnya.
Kali kedua dan seterusnya akan membuat dia mengenalnya lebih dalam
Hingga akhirnya menjadi pecandu, menjadi bagian dari orang-orang yang dahulu mempertemukan dirinya dengannya.
Meski dirinya tak lagi sepenuhnya normal, dia tak peduli.
Selagi sesuatu itu dapat membuat hidupnya lebih bahagia.
Senja hari itu terlihat mendung. Awan gelap menaungi bangunan-bangunan asrama yang begitu luas lahannya, seolah-olah siap menumpahkan segala isinya. Tak perlu menunggu waktu lama, rintik-rintik kecil sudah turun membasahi bumi. Para penghuni asrama yang baru saja kembali dari rumahnya terbirit-birit masuk untuk berlindung.
“Hah... Untung hujannya pas sudah sampai sini.”
Anna dan kedua temannya tergopoh-gopoh lari ke dalam asrama dengan membawa tas belanjaan di tangan masing-masing. Halaman asrama penuh dengan mobil para orangtua yang kembali mengantar anak-anaknya setelah menghabiskan waktu seharian bersama. Hari minggu ini bukanlah jadwal pulang, jadi mereka hanya diperbolehkan keluar area asrama dari pukul delapan pagi hingga lima sore. Mau dijemput untuk jalan-jalan atau keluar sendiri bersama teman, itu semua dikembalikan pada keputusan murid.
Biasanya, Anna memilih dijemput untuk sekadar mampir ke rumahnya karena masih satu kota. Berbeda dengan Icha yang berasal dari kota sebelah ataupun Hana yang dari luar pulau, mereka justru memilih untuk menghabiskan waktu di asrama saja. Lebih enak santai seharian, kata mereka.
Namun, berhubung tanggal ini sesuai dengan berlangsungnya event, Anna mengajak sahabat dan juniornya itu untuk pergi bersama. Berangkat naik taksi online untuk ke event, setelahnya baru mampir ke rumah Anna. Mereka pun sempat berbelanja kebutuhan pribadi yang sudah habis sebelum kembali ke asrama. Beruntung jalanan tidak macet sehingga mereka sampai tepat waktu.
“Nggak kerasa, ya. Perasaan tadi baru berangkat mau lihat event, sekarang sudah balik lagi ke sini,” keluh Icha yang berjalan sempoyongan. “Energi positif yang kurasakan di event tadi langsung hilang.”
“Jangan gitu, dong. Luruskan niat, ingat orangtua yang mengirim kita untuk menuntut ilmu di sini. Insyaallah nanti nggak berat lagi rasanya,” celetuk Hana dengan nada seperti berceramah. “Asek... Bijak juga aku. Hahaha....”
Melihat Hana yang melawak setelah sebelumnya melontarkan ucapan bagus, Anna dan Icha tak kuasa lagi menahan tawa. Tawa ketiganya meledak, tanpa sadar membuat penghuni asrama lain melirik mereka.
“Eh, sudah, hei, sudah. Malu diliatin,” bisik Anna pada kedua kawannya. “Kapan-kapan lagi kita nobar kayak tadi, ya!”
“Mau nonton apa, nih, selanjutnya? Anime movie banyak yang bagus, lho,” kata Icha.
“Maraton anime series, dong! Biar mantap,” timpal Hana.
Anna menampar pelan pundak Hana. “Waktunya yang nggak ada, woi! Kalau mau maraton, mah, sendiri-sendiri saja!”
Obrolan mereka terus berlangsung pada menit-menit selanjutnya. Area luas di ruang tengah asrama menjadi tempat favorit mereka untuk berbincang. Hal itu dikarenakan ketiganya berada di kamar yang berbeda. Jika berkumpul di kamar salah seorang, mereka takut mengganggu anggota kamar lainnya. Apalagi kalau mengobrolnya sampai tertawa keras.
Memang tak banyak yang satu frekuensi dengan Anna saat membahas anime. Wajar saja, populasi penggemar anime di sekolah asrama itu kalah banyak dengan penggemar K-Pop dan drama Korea. Namun, daripada terpaksa menyesuaikan diri dengan banyak orang agar bisa akrab dengan mereka, Anna lebih memilih mencari orang yang cocok dengannya. Sedikit tak masalah, yang terpenting dia bisa menjadi diri sendiri ketika bersama mereka, tanpa perlu berpura-pura.
***
Empat tahun lalu merupakan awal mula pertemuan Anna dengan anime. Uniknya, dia kenal bukan dari teman sebayanya, melainkan senior satu tingkat di atasnya yang sama-sama ikut bina prestasi mapel IPS kala itu.