ENTANGLED In Delusion Love

Disha Kei
Chapter #4

BAB 3

Gejolak merah muda selalu menghampiri insan yang bernama remaja.

Menyerang hati yang masih rapuh karena baru berkembang.

Menarik mereka dalam lautan kebahagiaan yang tiada habisnya.

Siapa pun yang jatuh hati akan mengalaminya, sekalipun pujaannya tak ada di dunia ini.




“Eh, kalian kenal Rakyan anak angkatan kita, nggak?”

“Ngapain nanya-nanya kamu? Naksir ya? Hahaha...”

“Ih, nggak, kok! Cuma kepo aja.”

Malam itu tak berbeda dari malam-malam sebelumnya di asrama Anna. Tempat yang sama, waktu yang sama, dan topik yang sama. Sudah hampir tiga hari ini, kamar Anna yang dia tempati bersama tiga teman lainnya menjadi tempat singgah penghuni kamar lainnya. Sekitar empat sampai lima orang berkumpul di kasur paling bawah, berseberangan dengan milik Anna.

Mereka semua teman sekelasnya. Sebagai angkatan kedua di sekolah asrama yang belum lama berdiri itu, angkatan Anna hanya memiliki 28 murid perempuan. Karena sedikitnya murid, akhirnya mereka dijadikan satu kelas saja. Sementara untuk murid laki-laki, Anna tak pernah hafal jumlahnya. Dia tak pernah tertarik tentang manusia-manusia di asrama lain yang berjarak hampir dua kilometer dari asramanya. Padahal, manusia di sana sering menjadi topik hangat teman-temannya.

“Cakep, sih. Tapi bukan tipeku.”

“Kalau si Reyhan gimana?”

Layaknya remaja-remaja puber pada umumnya, mereka semua membicarakan cowok-cowok seangkatan. Padahal mereka jarang bertemu dan letak asrama pun berjauhan, entah dari mana mereka bisa mendapatkan info tentang murid-murid cowok. Tak perlu diragukan lagi bahwa perempuan disebut intel yang handal.

Di kasurnya, Anna hanya ikut mendengarkan sambil terus membaca novel yang dipinjamnya dari teman kamar sebelah. Sesekali dia ikut menimpali dalam obrolan yang dia mengerti, agar suasananya lebih seru. Mereka pun tidak merasa terganggu dengan keberadaannya.

Teman-temannya betah sekali membicarakan cowok. Entah sudah berlalu berapa menit sejak mereka kumpul setelah kegiatan halaqoh Qur’an malam. Terkadang, Anna ikut terkikik ketika ada hal lucu dari pembicaraan mereka. Namun, dia sama sekali tak tertarik untuk benar-benar bergabung. Obrolan soal anime lebih menarik baginya daripada perihal cowok.

“Kalau Anna, punya doi, nggak?” Salah satu dari mereka, Kinan, tiba-tiba menyeret Anna dalam perbincangan mereka.

Anna mengerutkan dahi. “Doi? Aku nggak pacaran.”

Inilah hal yang tidak Anna sukai pada perbincangan mereka. Mereka tak hanya membahas cowok hanya karena kepo, tapi beberapa di antara mereka memang ada yang masih menjalin hubungan pacaran, baik dengan murid asrama sini atau bukan. Meski sudah tinggal di sekolah asrama yang berbasis agama, hal tersebut tak membuat mereka lepas dari hubungan haram tersebut.

Pacaran memang sudah dianggap lazim oleh masyarakat. Pihak asrama sebenarnya ketat memberlakukan aturan agama dengan melarang murid-muridnya berpacaran. Namun tetap saja, mayoritas dari mereka tetap mendahulukan hawa nafsunya. Diingatkan berkali-kali pun tetap saja tak mempan. Dan itu sudah menjadi rahasia umum bagi anak-anak asrama.

Kinan tertawa kecil, “Nggak melulu soal pacar, doi bisa juga crush, atau orang yang kamu suka? Anna punya?”

Tanpa menunggu sedetik pun berlalu, Anna langsung menggeleng.

“Ah, nggak usah malu-malu, Ann.” Temannya yang lain, Tiya namanya, ikut menimpali. “Masa iya nggak ada?”

Anna menggeleng lagi sembari berkata, “Beneran, lho. Aku nggak suka siapa-siapa, kok.”

Sejenak, kamar hening.

Anna memang tipe orang yang tampak pendiam. Namun, tak ada yang menyangka dia tak punya cowok idaman. Sejatinya, remaja seusia mereka sedang menggebu-gebu dalam gejolak merah mudanya. Jadi wajar sekali jika menyukai seseorang diam-diam. Lagipula, Anna bukanlah cewek tomboi yang biasanya tak peduli pada percintaan.

“Seriusan?” Kinan tampak shock. “Temen SMP-mu dulu gitu misal, nggak ada yang kamu suka?”

“Nggak,” jawab Anna dengan tegas. “Aku suka sama orang itu terakhir SD kelas dua.”

Mendengar itu, seisi kamar terbahak.

“Kelas dua SD? Itu mah, cinta monyet, kali!”

Anna menambahkan, “Tapi sampai kelas enam, kok. Cuma abis itu nggak lagi karena pisah sekolah pas SMP. Kalau dibilang cinta monyet, ya, emang iya kayaknya.”

Suara tawa di kamar itu makin keras, hampir saja sampai ke kamar ustadzah. Kalau ketahuan mereka masih tertawa dan ngobrol malam-malam begini, mereka bisa-bisa kena marah. Jawaban Anna rupanya tak terlalu menarik untuk dibahas lebih lanjut. Tak ada lelaki idaman, jelas pula tak kenal lelaki asrama seberang. Tak ada yang menarik lagi untuk bisa Anna bicarakan bersama mereka.

Lihat selengkapnya