Canda tawa menjadi hal yang disukai para remaja.
Melontarkan lelucon yang membuat satu sama lain tertawa bahagia.
Mereka menganggap semua itu hanya bualan belaka.
Tanpa ada yang menduga bahwa salah satunya akan menjadi nyata.
Sejak saat itu, Anna bagaikan hidup di dua dimensi yang berbeda. Satu kenyataan dan satu dunia yang dia ciptakan sendiri. Yang hanya berjalan dalam benaknya. Mau ini disebut penyakit mental atau apa pun, Anna tak mau memeriksanya. Jikalau benar pun, dia tak mau mengakuinya. Dia berpikir dirinya tak berhalusinasi separah itu. Dia masih bisa membedakan mana kehidupan nyatanya dan mana yang tidak. Dia sadar bahwa Lav memang tak ditakdirkan berada di dunianya. Itulah mengapa dia menciptakan ruang di pikirannya agar dirinya bisa bertemu dengannya.
Sejauh ini pun, cinta butanya pada Lav tak menganggu kehidupannya. Dia tak sampai berlebih-lebihan dengan memaksa ingin menikahi karakter dua dimensi di dunia nyata. Tak juga memamerkan pujaan fiksinya pada orang awam yang bisa membuatnya tampak aneh dan gila. Dia masih manusia normal. Minusnya hanya sering sekali melamun. Beruntung tak ada seorang pun yang tahu soal rahasia pribadinya ini, tak terkecuali Hana dan Icha.
“Ngomong-ngomong, bentar lagi kita mau lulus, nih. Rencana pada mau ke kampus mana?”
“Ah, kalau aku yang dekat-dekat saja, deh.”
Topik mengenai studi lanjut mulai ramai di antara teman seangkatan Anna. Tentu karena tahun terakhir mereka di SMA tengah berjalan. Sudah waktunya untuk memikirkan rencana setelah lulus. Berbagai universitas diperbincangkan, apalagi setelah ada perwakilan kampus yang datang untuk promosi. Tentu membahas tentang perkuliahan menjadi sangat seru, tapi ada hal lain yang tak kalah ramai dibahas oleh teman-teman Anna.
Tentang menikah setelah lulus.
Walau nampak tak wajar bagi masyarakat awam, kenyataannya banyak yang menikah di usia muda apalagi setelah lulus SMA. Hal tersebut pun dijadikan bercandaan di kalangan kelas tiga. Bahwa beberapa dari mereka mungkin akan ada yang menikah begitu lulus SMA di saat yang lainnya kuliah.
Biasanya topik ini ramai ditujukan kepada mereka yang sering membicarakan cowok atau perihal pernikahan. Namun anehnya, Anna sempat menjadi target obrolan juga, padahal dirinya tak pernah membahas soal cowok satu kali pun.
“Anna mungkin ya, yang mau nikah setelah lulus?”
Namanya disebut oleh Kaya yang juga bergabung dalam mejelis malam para gadis. Semua pasang mata langsung tertuju pada Anna yang dari awal setia menjadi pendengar di pojok kasurnya.
Anna tersentak, “Lho, kok, aku?”
“Nggak tahu, ya, kayaknya kamu termasuk yang bakal nikah muda, deh. Siapa tahu jadi yang pertama nikah di angkatan kita,” jelas Kaya yang
“Nggak, ah. Ngebet amat. Lagian aku nggak punya orang yang disuka,” tukas Anna sembari menggeleng kuat.
“Eh, jangan gitu. Kita kan, nggak tahu takdir mau berjalan kayak apa nanti. Urusan jodoh juga rahasia. Ya, nggak mesti habis lulus. Tapi, siapa tahu jodohmu yang duluan datang ketimbang kami.”
Beberapa menit ke depan, Anna menjadi bahan obrolan baru di kalangan teman-temannya. Dia tak begitu mempermasalahkannya karena tahu semua itu hanya candaan. Tak mungkin juga ada di antara mereka yang langsung menikah sehabis lulus. Hanya saja, Anna tak habis pikir, bagaimana bisa teman-temannya sempat menganggap dirinya yang bakal pertama kali menikah di antara semuanya?
Itu adalah hal terkontrol yang Anna dengar selama tinggal di asrama ini. Yang benar saja, gadis maniak anime dan pendiam yang tak memiliki teman lelaki satu pun akan menjadi yang pertama menikah? Apa yang mereka harapkan dari gadis yang lebih menyukai karakter fiksi ketimbang cowok asli?
Obrolan malam itu menguap dengan sendirinya di kalangan teman-teman Anna. Tak ada lagi yang mengungkitnya. Majelis malam para gadis dihangatkan oleh topik-topik baru seperti biasanya. Yang sudah lalu akan berlalu jika tak dianggap serius.
Namun di kemudian hari, entah bagaimana obrolan itu bisa sampai ke telinga angkatan bawah mereka.
“Senpai, senpai.” Icha mencolek bahu Anna yang meneguk air minum di dapur. “Senpai mau nikah ya abis SMA, ya?”
Anna nyaris tersedak mendengarnya. Air di mulutnya tersembur sebagian. Dia pun refleks menampar pundak Icha setelahnya.
“Ngawur! Siapa yang bilang?” tukas Anna.
Icha mengangkat bahu, “Cuma dengar-dengar aja.”