ENTANGLED In Delusion Love

Disha Kei
Chapter #7

BAB 6

Terkadang, dapat menghindari hal terlarang yang banyak dilakukan orang-orang membuat seseorang jumawa.

Merasa lebih baik dari yang lain hanya dari satu sisi tersebut.

Tanpa menyadari bahwa dirinya telah melakukan hal yang sama, di balik selimut tebal yang menyamarkannya.


Seusai halaqoh Qur’an malam hari dibubarkan, penghuni asrama diperbolehkan untuk beraktivitas bebas sampai pukul sepuluh malam. Di atas jam tersebut, semuanya sudah harus berada di dalam kamar. Ustadzah yang berjaga pun akan memeriksa seluruh kamar, memastikan semua anak didiknya tidur di waktu yang tepat.

Karenanya, dua jam sebelum tidur merupakan waktu luang berharga bagi mereka. Ada yang menggunakannya untuk membaca novel, cuci muka dan memakai rangkaian skincare malam, makan camilan, atau berkumpul dengan teman gosipnya lalu mengobrol sampai menjelang tidur. Anna sendiri biasanya memilih rebahan di kamarnya sambil menggambar atau menulis.

Namun, malam ini berbeda. Jarang-jarang dia menyendiri di balkon lantai dua. Pemandangan kota malam hari memang menakjubkan jika dilihat dari balkon. Tapi gelapnya hutan di sekitar asrama menambah kesan mengerikan, membuat sebagian murid memilih menyaksikan gemerlapnya kota melalui jendela kamar saja. Anna pun baru kali ini meluruskan kaki di balkon malam-malam, bersandar sembari menatap lamat-lamat kertas yang ada di tangannya.

Yang tak lain merupakan formulir daftar kampus pilihan.

Sekolah mulai mendata kampus dan jurusan pilihan agar mereka bisa mengelompokkan para murid sesuai jalur masuknya nanti. Terlebih jika ada yang memilih jurusan IPS, perlu ada bimbingan lintas jalur karena kelas mereka adalah kelas IPA.

Sudah sebulan sejak formulir itu dibagikan dan dua hari lagi batas pengumpulannya. Anna juga sudah mendapat giliran konseling terkait studi lanjut seperti yang lainnya. Guru BK-nya memaparkan dengan jelas bagaimana potensi Anna masuk kuliah dengan jalur SNMPTN1. Menurut beliau, nilai rapor Anna selama tiga tahun ini akan membuatnya lolos tanpa perlu tes seleksi jika memilih kampus dengan rating masuk yang sesuai.

Pilihan awalnya adalah jurusan sastra Indonesia. Namun, di sisi lain dia juga ingin memperdalam cabang keilmuan Islam. Belum lagi ketika dia melihat daftar jurusan di pamflet kampus yang datang untuk promosi, jurusan komputer dan IT menarik perhatiannya juga.

Di saat Anna sedang serius memikirkan semua itu, pintu balkon tiba-tiba terbuka. Membuatnya terlonjak kaget diiringi teriakan nyaring

“Lah, kamu di sini, toh. Kucariin kemana-mana tadi,” ceplos Hana yang turut duduk di depan Anna. “Udah malem ngapain di sini?”

“Galau,” jawab Anna lirih.

Hana terbahak, “Jiah, kek punya doi aja. Eh, kan kamu punya Lav, ya.”

“Bukan galau soal itu! Soal kuliah ini!” tukas Anna.

“Oh, itu. Aku juga belum ngumpulin formulirnya. Santai saja, lah.”

“Santai gimana, lusa harus dikumpulin, tahu!”

Hana mengangkat kedua bahu dan tangannya sejajar, memperlihatkan betapa tenangnya dia menghadapi semua ini. “Pelan-pelan saja. Kalau banyak pilihan, coba dikerucutkan lagi buat cari mana yang benar-benar kamu minati. Ah, apa kamu beneran mau nikah dulu baru kuliah?’

Mendengar sahabat dekatnya kini mengungkit hal itu juga, tatapan Anna berubah masa. “Bisa jangan bawa-bawa yang satu itu dulu, nggak? Kenapa, sih, jadi pada mikir aku bakal nikah duluan? Kenapa nggak lupain aja obrolan hari itu. Hiiihh...”

Anna menggeram kesal. Saking gemasnya, dia mencengkeram formulir pendataan itu sampai hampir robek. Candaan tempo hari yang Anna kira akan mudah menguap ternyata justru melekat di ingatan sebagian orang. Parahnya, tak hanya teman terdekatnya yang suka msngungkit hal tersebut.

“Menikah di usia muda juga nggak seburuk itu, kan? Asal semua pihak siap ilmunya,” ujar Hana.

Lihat selengkapnya