Gadis kecil yang beranjak dewasa itu telah dihadapkan oleh realita.
Skenario kehidupan yang tak bisa dia hindari begitu saja dengan berpindah ke dimensi lain.
Membuatnya harus membuka pintu yang selama ini membatasinya dengan dunia luar.
Membuatnya terpaksa berhenti mengurung diri dan berpijak keluar dari zona nyaman.
“Maaf, Kak. Apa angkatan tujuh tempatnya di sini?”
“Untuk angkatan tujuh di lantai dua, ya. Yang bawah buat angkatan enam.”
Anna mengangguk-angguk canggung setelah memberanikan diri bertanya pada seorang seniornya. Dia kemudian bergegas naik ke lantai dua gedung perkuliahan. Di sana sudah banyak mahasiswi lain yang berkumpul, saling berbincang satu sama lain. Anna yang belum memiliki kenalan pun memilih untuk duduk menyendiri, melepas penat setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Setengah tahun telah terlewati sejak Anna bergabung dalam Akademi Guru. Sebuah perguruan tinggi yang masih satu yayasan dengan sekolah adik-adiknya, memiliki kurikulum sendiri yang didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah. Pelajaran-pelajarannya pun merujuk pada keilmuan Islam di masa jayanya. Mahasiswa-mahasiswi di sini fokus memperdalam ilmu agama, dengan harapan bisa menjadi guru terbaik yang mendidik anak-anak bangsa selanjutnya.
Lokasi kampusnya memang berada di luar kota. Pada awal tahun ajaran, pandemi masih mengharuskan lockdown, sehingga bukan masalah bagi Anna karena dia mengikuti pembelajaran secara daring. Namun, semenjak kondisi membaik dan aktivitas di luar sudah diperbolehkan kembali, para mahasiswa diharuskan datang secara langsung ke kelas. Hal ini membuat hari-hari Anna menjadi sangat padat. Sudahlah Senin sampai Kamis hadir di kelas Bahasa Arab dari pagi sampai siang, di Jum’at dan Sabtunya harus melakukan perjalanan sekitar delapan jam untuk hadir di kuliah satunya.
Ini pertama kalinya Anna datang ke kampus, tak disangkanya akan secapek itu. Dia mengedarkan pandangannya ke setiap sisi ruang kelas. Mahasiswi satu angkatannya rupanya berjumlah hampir sama seperti saat dia di sekolah asrama dulu. Hanya sekitar tiga puluhan siswi. Dan mereka berasal dari kelompok umur yang berbeda-beda, berhubung kampus ini tak memiliki batas usia pendaftar. Semua bisa bergabung asalkan minimal punya ijzazah SMA dan lolos tes masuk. Dari tempat duduknya Anna bisa lihat, bagaimana yang muda berbaur dengan seumurannya, begitu pun yang sudah hampir kepala tiga atau lebih.
Semuanya sudah pernah kenalan ketika online dulu, ya? Kayaknya kok, mereka akrab-akrab sekali, batin Anna.
Sejak SD, Anna memang bukan anak yang gampang bergaul. Ditambah sifat anti sosial yang terbentuk saat dirinya sudah kecanduan anime. Saat SMA pun, dia bisa mendapat sahabat dekat karena Hana dan Icha duluan yang mengajaknya bicara. Sejujurnya, dia tak masalah jika dia tak memiliki teman satu pun di perkuliahan ini. Toh, sekolahnya hanya Jumat dan Sabtu.
Selain itu, sepertinya tak ada yang satu frekuensi dengannya di dalam kelas ini. Dari auranya, Anna bisa merasakan bahwa orang-orang di sini bukan orang awam. Mereka merupakan orang yang sudah mulai mempelajari ilmu agama, sehingga perlahan meninggalkan apa yang dianggap sia-sia di dunia. Tak seperti Anna yang maniak anime, jatuh cinta pada karakter fiksi pula. Rasanya Anna ingin lenyap saja dari kelas ini begitu sadar betapa jauh dirinya dengan mereka. Tak akan ada yang akan memahaminya seperti Hana dan Icha, bisa jadi dia benar-benar tak akan memiliki teman dekat di sini..
Itulah yang Anna pikirkan sampai seseorang memilih duduk di kursi sebelahnya. Suasana seketika menjadi canggung ketika keduanya hanya saling diam. Batin Anna pun saling mendebat di kepalanya perihal apa yang harus dia lakukan di saat seperti ini. Orang-orang yang humble seperti Lav akan dengan mudah menyapa teman di sebelahnya. Namun sayangnya, Anna bukan Lav. Bukannya langsung menyapa, dia justru memikirkan soal reaksi yang akan didapatnya jika dia memutuskan untuk menyapa duluan. Kemungkinan buruk, gadis itu merespon dengan datar dan membuat Anna malu luar biasa.
Pikiran-pikiran seperti itulah yang menghambat Anna dalam berkenalan dengan orang baru. Karena dia selalu overthinking sebelum mencobanya dulu
“Permisi. Boleh kenalan? Kamu asal mana dan usianya berapa kalau berkenan?”
Anna sekejap menengok pada gadis di sebelahnya. Tubuh lebih pendek darinya, wajah mungil, dengan aura gampang bergaul yang kuat. Dia memakai hijab segi empat berwarna cokelat pastel, serta gamis cerah berwarna putih semu. Anna seperti melihat Hana dalam diri gadis ini, hanya saja sepertinya dia lebih tua darinya. Perbedaan umurnya juga seperti sedikit jauh, bukan hanya dua atau tiga tahun.
Sejenak, Anna merasa berterimakasih padanya karena sudah mengajak bicara.
“Namaku Anna dari Purwokerto. Umur 19 tahun”
Gadis itu terkesiap hebat. “Eh? Purwokerto, Jawa Tengah? Jauh juga, ya. Kamu di sini ngekos berarti?”
Anna menggeleng. “Pulang-pergi.”
Lagi-lagi, dia terkesiap. “Ya Allah, nanti setiap minggu mau bolak-balik gitu dari Purwokerto ke Bogor? Kenapa nggak ngekos saja? Kan', lebih mudah.”
“Aku ada kuliah bahasa Arab di sana. Dulunya juga, kan’, masih online kuliahnya. Sempat sih, cari-cari kos-kosan di sekitar sini. Tapi, kebetulan perkuliahan yang di sana juga sudah harus offline, jadilah bolak-balik karena harus hadir semuanya,” tutur Anna, terheran-heran sendiri bagaimana dia bisa mengalir bercerita selancar barusan.
“Wah, hebat,” ucap gadis itu yang masih terpukau. “Salam kenal, ya. Aku Nurul dari Tangerang. Jangan tanya umur, oke? Itu rahasia. Yang pastinya tidak semuda dirimu. Hahaha...”
Nurul mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Anna. Masih canggung, Anna sedikit kaku saat menjabat tangan teman barunya.
“Jangan kaku-kaku gitu, dong. Hahaha...” Nurul tertawa melihat tingkah Anna yang jelas-jelas gugup.
Seperti sebelum-sebelumnya, Anna bisa mendapat teman karena si ekstrover ‘memungutnya'. Dia senang bisa mendapat teman bicara, tapi hatinya ragu apakah dia bisa menjadi dekat dan akrab dengan Nurul. Masalahnya, selama ini Anna selalu berteman dengan yang sama-sama menyukai anime. Belum pernah dia memiliki sahabat karib yang bukan pecinta anime, selain teman masa kecilnya dulu. Jika Nurul adalah gadis normal biasa, apa yang akan membuat hubungan keduanya lebih erat dari sekedar pertemanan?