Lelaki idaman pastilah ada jika dicari ke seluruh penjuru bumi.
Yang menjadi masalah bukan lagi ketemu atau tidaknya, melainkan apakah dia sungguhan orang yang ditulis sebagai jodohnya?
Jika nama yang tertulis bukan dirinya, mereka tak akan pernah bisa bersatu.
Sekalipun orang itu ada di hadapannya saat ini juga.
Akhir pekan selalu menjadi hari yang sibuk bagi Mama. Pagi beres-beres, siang beres-beres, malam pun tak luput dari beres-beres. Rumah besar pemberian mertuanya memang butuh lebih banyak tenaga. Tak cukup sehari saja membersihkan seluruhnya, minimal dibagi dua hari kalau tak mau tepar esok hari. Beruntung Mama masih punya dua anak buah tak bergaji yang bisa diajak bekerja sama—Anna dan si adik bungsu.
“Ya Allah, capeknya,” keluh Mama yang tengah merebahkan diri demi melepas penat. “Duh, nyari suaminya Anna di mana lagi, ya? Sudah dua orang kemarin Mama coba diskusi sama Papa, nggak ada yang cocok sama dia.”
Mama menghela napas panjang. Satu tahun telah berlalu sejak Anna menyetujui permintaannya. Tentu Mama dan Papa mengusahakan yang terbaik untuk anaknya. Sudah dua orang yang Mama ajukan pada Papa untuk dipertimbangkan, tapi tak ada titik temu.
Yang satu merupakan guru di sekolah anak bungsu mereka. Latar belakang agamanya baik, tapi sayangnya jarak umur dengan Anna terlalu jauh. Selain itu, Papa juga tak merasa cocok ketika berbicara dengannya. Satunya lagi anak guru ngajinya Mama, yang merupakan anak seorang Ustadz. Hanya saja, pemuda itu belum ada keinginan menikah karena masih ingin melanjutkan kuliah atas permintaan ibunya.
Sampai sekarang belum ada lagi yang masuk dalam daftar kandidat calon suami Anna. Meski Anna pernah bilang tak perlu terburu-buru, justru Mama sendiri yang menggebu-gebu. Dibandingkan Papa, Mama lebih bersemangat mencari lelaki yang akan dipertemukan dengan Anna. Kedua kandidat sebelumnya pun Mama yang memilih, sedangkan Papa cukup menilai saja apakah sesuai atau tidak dengan intuisinya. Itu karena Anna menginginkan jodoh seperti ayahnya. Maka yang menjadi juri utama adalah Papa.
Dalam lubuk hati Mama, dia ingin anaknya menikah setidaknya tahun depan. Dia tak ingin Anna menikah lebih dari usia dua puluh, sebab dirinya khawatir dengan kesehatannya. Sekitar tiga tahun lalu, Mama didiagnosa memiliki penyakit jantung. Jantungnya membengkak, serta ada katup di dalamnya yang tak berfungsi seperti seharusnya. Kondisi tersebut membuatnya mudah pusing, sakit kepala, bahkan pingsan tiba-tiba. Wajar jika Mama berpikir hidupnya tak akan lama lagi—meskipun dokter tak mengatakan apa pun soal itu.
Mama tak tahu berapa lama tubuhnya akan bertahan dengan kondisi seperti itu. Walau sampai sekarang masih sehat-sehat saja, tak ada yang tahu beberapa hari ke depan. Harapannya tentu bisa membersamai anak-anaknya sampai mereka semua dewasa. Namun, jikalau Allah mengambil nyawanya duluan, setidaknya dia bisa melihat anaknya menikah walau hanya sekali. Melihat anak pertamanya bertemu dengan pendamping hidupnya
Mencari jodoh untuk putrinya dia kira akan mudah. Mama punya banyak koneksi dari kelompok wali murid maupun anggota pengajian, tapi rupanya tak berjalan selancar itu. Tak banyak pria lajang dari kenalan-kenalannya. Kalaupun ada, sebagian besar adalah pria dewasa yang perbedaan umurnya cukup jauh dengan Anna. Secepat-cepat Mama ingin melihat Anna menikah, tetap saja yang dipilihnya tak boleh sembarang orang. Dia tetap mengikuti kriteria yang Anna inginkan, ditambah standar Mama dan Papa sendiri—perihal ilmu agama.
“Oh, iya. Belum menyimak kajian bulanan khusus wali murid.”
Di tengah kalutnya pikiran tentang jodoh Anna, terlintas dalam benak Mama satu tugas yang belum dikerjakannya. Tanpa menghiraukan penat yang masih menggerogoti tubuh, Mama beranjak lagi untuk mengambil handphone-nya. Tiap bulan, ada kajian khusus wali murid di sekolah Islam tempat anak-anaknya bersekolah. Sekolah yang satu yayasan dengan kampus Anna. Anak bungsunya masih berada di jenjang SD, sementara kakaknya yang kembar sudah berada di pondok untuk jenjang SMP dan SMA.
Kajian bulanan ini wajib diikuti oleh seluruh orang tua, layaknya anak-anak yang masuk kelas. Seharusnya Mama datang ke sekolah hari Minggu lalu, tapi posisinya saat itu sedang menjenguk anak kembar mereka di pondok bersama Papa. Akhirnya, Mama terpaksa izin dan harus melihat rekaman videonya di lain waktu.
Rekaman sudah berputar lebih dari lima menit, tapi Mama masih belum bisa fokus pada video tersebut. Pikirannya masih dipenuhi oleh kegelisahannya tentang jodoh Anna. Rasanya sudah mentok sampai tak tahu lagi harus cari di mana. Dirinya sampai berpikir, sebegitu susahnya mencari pria sholeh yang baik dan paham agama di akhir zaman ini.
“...Berikutnya, sebelum agenda utama kita dimulai, kami persilahkan kepada Ustadz Fauzan Ali untuk membacakan ayat suci Al-Quran...”
Suara pembawa acara dari video tersebut bahkan tak terdengar jelas sepenuhnya di telinga Mama. Wanita itu tak menyadari sudah sampai mana video itu diputar. Pandangannya terus tertuju pada dinding selagi pikirannya masih tertuju pada rencana pernikahan Anna.
Sampai sebuah suara mengalun lembut ke telinganya, mengusik perhatiannya hingga matanya bergerak pada layar handphone. Suara yang begitu merdu melantunkan ayat suci Al-Quran, begitu nyaman didengar. Membuat siapa pun yang mendengarnya langsung terpikat di kali pertama.
Mata Mama melotot lebar-lebar, melihat siapa pemilik suara indah itu. Suara yang tak semua lelaki dapat memilikinya. Fokus Mama langsung tertuju pada lelaki yang duduk di depan barisan orangtua dalam video tersebut, tengah membaca Al-Qur’an tanpa membawa kitabnya. Dia melantunkan ayat dari ingatannya, membuat Mama takjub seketika. Wajahnya tampak teduh meski tampangnya tak setampan lelaki muda yang pernah Mama kenal. Mungkin karena kulitnya yang sawo matang, membuat keelokan parasnya tidak dapat ditangkap dalam sekali lihat.
“Ustadz siapa itu, ya? Kayaknya belum pernah ngajar adik-adik,” gumam Mama berusaha mengingat-ingat nama guru yang mengajar di sekolah anaknya. “Oh, iya. Ustadz Fauzan kalau nggak salah. Dia kan, yang jadi penguji waktu tes tujuh juz sebelum masuk ke pondok. Jarang ketemu, sih, jadi lupa.”