Pernikahan tak selalu menjadi akhir bahagia bagi setiap orang.
Terkadang menjadi momok menyeramkan sampai mendatangkan trauma.
Namun sejatinya, tak ada fase kehidupan yang bebas dari kesulitan.
Mau menikah atau tidak, setiap insan akan menghadapi ujiannya masing-masing.
Dan mereka tidak akan selamat jika hanya terus menghindarinya.
Semester baru di Akademi Guru, berarti ada mata kuliah baru. Setiap semesternya memang berbeda-beda pelajarannya. Ada yang masih diajarkan selama dua semester, ada pula yang hanya diajarkan satu semester saja. Sejak semester kedua dimulai beberapa minggu lalu, ada satu mata kuliah yang kerap menjadi perbincangan para mahasiswi di luar perkuliahan. Yaitu mata kuliah ilmu pranikah.
Meskipun beberapa mahasiswi di sini sudah berkeluarga, jumlah yang single masih lebih banyak. Tentunya pranikah menjadi mata kuliah yang paling ditunggu-tunggu, terutama bagi mereka yang sudah berada di usia siap menikah. Bagi Anna sendiri, ilmu itu sangat penting baginya, berhubung dia bisa saja dikenalkan oleh Fauzan sewaktu-waktu.
Rasanya memang tidak bisa dipercaya, tapi Anna sadar dirinya tak bisa menghindar dari takdir. Mama mencarikan jodoh saja sudah membuka peluang lebih besar untuk Anna melangkah ke jenjang berikutnya. Karenanya, dia harus menyiapkan diri sendiri. Dia tak mau sampai terlihat seperti orang bodoh saat waktunya tiba.
“Kalau lagi matkul pranikah, rasanya jadi pengin cepat-cepat menikah, ya!” celoteh Dena, salah satu teman dekat Anna di kampus selain Nurul.
Pasca mata kuliah kedua di hari itu, para mahasiswi melepas penat di masjid sembari menunggu waktu sholat Dzuhur. Masih ada setengah jam sebelum adzan berkumandang, sehingga mereka bisa meluruskan kaki dahulu di sana. Sebagian memilih untuk berjalan-jalan di area kampus yang tak begitu besar. Ada juga yang makan siang terlebih dahulu.
Anna yang belum lapar memutuskan untuk ikut bersama teman dekatnya. Singkat cerita, setelah akrab dengan Nurul, Anna bisa berkomunikasi lebih baik dengan yang lain dan mendapat beberapa kawan dekat lainnya. Meskipun tak semuanya menyukai anime, ada hal lain yang membuatnya merasa satu frekuensi dengan mereka. Salah satunya bernama Dena, mahasiswi yang pernah satu kelompok dalam tugas perkuliahan dengannya saat masih kuliah online dulu. Dena memiliki selera humor yang sama seperti Anna, karenanya mereka bisa akrab dengan cepat.
Siang itu, mereka bertiga menyejukkan tubuh di bawah kipas angin masjid bersama dengan beberapa mahasiswi sekelas lainnya. Mendengar Dena membuka obrolan tentang mata kuliah pranikah, semua telinga langsung mendekat kepadanya.
“Yee... Bukannya ilmunya yang diserap malah kamu kesengsem bayangin nikahnya,” tukas Nurul yang menyikut lengan Dena.
Dena terkikik. “Nggak usah bohong, deh. Semuanya pasti juga mikir pengin nikah kalau lagi belajar hal itu, kan?”
“Iya, deh, iya!”
Semuanya spontan menjawab dan tertawa bersama. Sekitar enam mahasiswa yang berkumpul di sana, termasuk Anna dan kedua temannya. Tiga orang lainnya Anna tak kenal begitu dekat, tapi dia tahu nama mereka.
Citra, teman sekelas Anna yang berbadan kecil, menyahut, “Ilmu pranikah memang nggak pernah bikin bosan. Pernikahan dalam Islam terlihat sangat membahagiakan. Tapi, kalau dilihat kenyataannya zaman sekarang, rasanya nggak begitu, ya?”
Dena mengerutkan alisnya. “Maksudnya apa?”
“Coba lihat berita-berita yang lagi viral itu. Banyak kasus perselingkuhan sama perceraian, jadi takut nikah lihatnya,” keluh Citra.
“Ih, betul, lho. Cerita di sekitarku juga gitu. Kemarin baru ada tetangga yang cerai sama suaminya, padahal baru dua tahun nikah. Sebulan yang lalu juga ada, tapi usia pernikahannya lebih lama dan sudah punya anak,” timpal Dhiya, teman Anna yang lain.
Nurul ikut bercerita, “Dari lingkup keluargaku juga ada. Bukan soal pernikahannya, sih, tapi soal punya anak. Tante jauhku minggu lalu datang mengadu pada orangtuaku sambil sesenggukan. Anaknya terjerat kasus di sekolah, berkali-kali orangtuanya dipanggil untuk laporan. Katanya suaminya seperti tak peduli walau sudah dibicarakan, menyerahkan beban tersebut padanya seorang.”
Anna hanya terdiam mendengar kisah yang dituturkan teman-temannya, merenunginya satu per satu. Berita semacam itu bukan hal baru untuk Anna. Seperti yang Citra katakan, akhir-akhir ini memang media sering sekali mengungkap berita tentang perselingkuhan yang berujung perceraian. Dari berbagai kalangan dan beragam usia pernikahan. Awalnya Anna tak begitu memedulikannya, tapi makin banyak berita serupa yang dia lihat, kekhawatirannya juga perlahan muncul.
Apa menikah dan memiliki anak memang seseram itu? tanya Anna dalam hati.
Dena mendesah berat kemudian, “Susah, ya, rasanya. Keinginan menikah ada, tapi melihat banyak fakta perceraian bikin kita takut juga.”
“Kenapa takut?”
Enam mahasiswi yang sedang berkumpul tersentak hebat bersamaan, ketika mendengar suara lain bergabung dalam obrolan mereka. Seorang wanita lain kini sudah duduk di belakang mereka sembari tersenyum manis. Anna mengenalnya, sebagai kakak kelas tepat satu angkatan di atasnya. Umurnya lebih tua darinya dan sudah memiliki anak, sehingga tak heran aura kedewasaannya tampak begitu pekat. Dibandingkan mahasiswi, wanita ini lebih cocok menjadi pengajar.
“Eh, kak Silmi...” sapa Dena. “Duh, malu jadinya ketahuan lagi ngomongin apa.”
“Hahaha... Santai saja kali. Wajar kalian-kalian yang belum menikah merasa takut. Tapi, bukannya sudah dapat kelas pranikah sama Ustadz Elvin? Kenapa masih takut?” tanya Silmi lagi.
“Habisnya, banyak berita soal cerai, selingkuh, KDRT, dan semacamnya. Makin ke sini makin banyak, kita jadi takut mengalami hal yang serupa,” ujar Dhiya.
“Memang begitulah kalau kita selalu fokus pada masalahnya.”