Setiap yang ditakdirkan padanya, akan menemukan jalannya sendiri untuk sampai kepadanya.
Sekalipun mereka tak pernah mengenal satu sama lain..
Sekalipun keduanya asing satu sama lain.
Jikalau memang takdir mereka terhubung, keduanya akan bertemu bagaimana pun caranya.
Obrolan dengan Silmi kala itu memberikan perubahan besar pada Anna. Berminggu-minggu setelahnya, Anna lebih fokus untuk memperbaiki diri. Mengembangkan skill, mempelajari ilmu baru, dan tentunya yang tak pernah dia lupakan adalah mengikuti kelas-kelas pranikah di luar mata kuliahnya
Anna memang belum siap untuk melupakan Lav. Dia belum siap untuk meninggalkan dunia di mana dia dan Lav bisa bersama. Dia belum mampu melakukannya, tapj dia bertekad untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu. Soal lepas tidaknya dirinya dengan cintanya pada Lav, itu urusan belakangan. Baginya, yang terpenting sekarang adalah memperbanyak ilmu. Karena dia tak tahu kapan rencana Mama yang bersekongkol dengan Tante Laila akan membuahkan hasil.
“Anna!”
Pintu kamar Anna tiba-tiba saja dibuka, membuat Anna kaget bukan kepalang. Jantungnya sampai berdebar-debar saking kerasnya suara yang ditimbulkan dari pintu kamarnya yang sudah usang. Tampak sosok Mama dengan langkah cepat menghampirinya, lalu memegang pundaknya kuat-kuat.
“Apa, sih, Ma? Jangan ngagetin gitu, dong!” tukas Anna.
“Dengerin ini, Anna! Mbak Laila bilang katanya keluarga Ustadz Fauzan mau silaturahmi ke rumah!” jelas Mama yang napasnya tak beraturan.
Anna mematung. “Hah?”
Baru saja semalam dia memikirkan apa yang sudah Tante Laila lakukan untuk membantu Mama. Tak disangka siang ini jawabannya datang sendiri. Bukan main pula, langsung informasi bahwa lelaki itu dan keluarganya akan datang ke rumah.
Mama yang pertama mendapat pesan tersebut dari Tante Laila kalang kabut seharian. Tak bisa diam, berbeda dengan Papa yang menanggapinya dengan santai. Mama sendiri tak pernah menyangka efek kerjasama dengan Tante Laila akan secepat itu. Belum ada setengah tahun sejak perbincangan terakhir mereka.
“Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Ini, kan, masih liburan pasca Idul Fitri, wajar kalau mau silaturahmi, kan?” ujar Anna.
Mama mengguncang pundak Anna. “Dia ke sini mau lihat kamu, Na! Katanya, orangtuanya mau ketemu kamu!”
Baik. Rasanya tak mungkin Anna berpikir hal lain ketika tujuannya sudah jelas seperti itu. Tapi tetap saja, dia masih belum bisa memercayai hal semacam ini akan terjadi. Dia bersikap seperti Papa yang tetap tenang, tapi sebenarnya jantungnya berdebar sangat kencang dan tidak beraturan. Berbagai pertanyaan berkelibat di kepalanya, mulai dari pakaian apa yang harus dikenakannya sampai apa yang harus dia katakan nanti pada orangtua Fauzan.
Mama bilang mereka akan datang besok. Dan semalaman Anna tak bisa tidur karena terus memikirkan pertemuan esok hari.
***
“Wah, lama nggak ketemu, ya, Jeng! Apa kabar? Mohon maaf lahir batin, ya.”
Suara Tante Laila sudah mengalir masuk sampai dalam kamar Anna, menandakan bahwa tamu mereka sudah datang. Entah berapa orang yang ikut, yang pasti hanya ada satu mobil—Anna memeriksanya lewat jendela tepat ketika mereka sampai. Tangan Anna gemetar tak karuan. Dia berdiri tepat di balik pintu kamar sembari menggigit bibir, menunggu intruksi Mama untuk keluar kamar.
Berkali-kali dia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Memakai gamis berwarna biru muda dengan hijab sepanjang siku berwarna abu-abu. Itu adalah padanan busana favorit Anna yang menurutnya paling bagus selama ini. Dia tak biasa memakai make-up, karenanya hanya bedak tipis dan lip balm yang dipakai di wajahnya. Kacamata yang biasa dia pakai pun kini diletakkan di meja kamarnya. Menurutnya, wajahnya lebih bagus jika tidak memakai kacamata. Dia ingin wajahnya dilihat dalam penampilan aslinya tanpa ada kacamata. Tak peduli meski pandangannya buram untuk beberapa saat ke depan.
Anna tak tahu mengapa dirinya merasa sangat tegang hari ini. Padahal, lelaki yang akan ditemuinya bukan orang yang dia suka. Belum pernah bertemu pula. Namun, rasanya Anna tetap ingin memberikan kesan terbaik seperti putri yang datang ke pesta dansa bertemu pangeran. Padahal hanya pertemuan biasa, tanpa ada unsur apa pun. Namun, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada harapan kecil yang muncul. Berharap pertemuan ini memiliki episode selanjutnya.
“Anna, tamunya sudah duduk, tuh. Ayo kenalan,” panggil Mama.
Kenalan? Sama siapa? Siapa yang mau kenalan duluan? batin Anna panik, Orangnya langsung? Atau bapaknya? Atau ibunya?
Dengan langkah perlahan, Anna menampakkan diri ke luar kamar. Dilihatnya ada tiga orang yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Tante Laila, satu wanita paruh baya seumuran Mama, dan satu lagi gadis kecil yang nampaknya masih SD. Tidak ada laki-laki sama sekali di sana. Sepertinya Fauzan dan bapak-bapak masih di luar, terdengar suara Papa dari teras.
Begitu tahu lelaki yang akan dijodohkan dengannya belum masuk, Anna buru-buru menyalami Tante Laila dan tamu lainnya. Yang rupanya itu adalah ibu dan adik perempuan Fauzan.
“Nah, ini yang namanya Anna,” ujar Tante Laila memperkenalkannya pada ibu Fauzan.
“Salam kenal, Bu. Saya Anna,” ucap Anna yang tak henti-hentinya berdoa agar tidak ada salah ucap dalam kalimatnya.