Rasanya memang tidak masuk akal, tapi hati tak akan berdusta.
Hatinya tak pernah berniat menolaknya.
Juga tak berontak akan keputusan yang dibuatnya.
Seolah-olah hatinya sedang mempersiapkan ruang baru untuk ditempati oleh seseorang baru itu.
“Teman-teman, lama nggak ketemu, ya!”
Anna menghampiri teman-teman seangkatannya yang sudah berkumpul lebih dulu di meja makan panjang. Mereka yang sudah siap menyantap hidangan di hadapan mereka pun beralih pandang kepadanya. Sontak, semuanya bersorak melihatnya datang.
“Anna! Aku kangen banget!” seru Hana yang langsung menghampirinya.
“Gimana kabarmu?” tanya seorang temannya yang lain.
Beberapa teman mengerubunginya seperti seorang artis, melepas rindu yang tak sempat mereka lakukan di akhir tahun ajaran mereka.
“Cie, cie. Udah punya gandengan, nih!”
Seseorang menyikut bahu Anna, membuatnya salah tingkah. Dengan malu-malu, dia menggandeng lengan lelaki yang ada di sampingnya dari tadi. Yang turut datang di acara reuni untuk menemainya
“Perkenalkan, ini suamiku. Namanya—”
Kringgg!!
Suara jam beker yang berasal dari ringtone alarm handphone membuat Anna terbangun setengah kaget. Gelagapan dia meraih handphone dan segera mematikan alarm yang memekakkan telinga itu. Detik berikutnya dia mematung di kasurnya, dengan posisi duduk membungkuk seperti orang malas bangun. Memang ini hari Minggu, tapi bukan berarti Anna malas bangun. Dia sedang memikirkan mimpinya barusan.
Sudah satu bulan sejak pertemuan pertama Anna dengan Fauzan. Selama itu pula, Anna hampir setiap hari sholat istikharah. Beberapa waktu memang dia melewatkannya karena telat bangun. Meski sudah sering istikharah, dia tak kunjung mengalami mimpi yang katanya bisa menjadi jawaban atas doa istikharah-nya.
Sebenernya, dia tak terlalu mempermasalahkan soal mimpi. Karena jawaban istikharah yang sesungguhnya ada pada ketetapan hati, kata Mama. Dirinya memang tak pernah bermimpi yang berkaitan dengan Fauzan. Namun, seperti saat pertama kali memutuskan untuk lanjut, hatinya tak sekali pun merasa ingin menolaknya. Justru dia makin mantap untuk melangkah ke jenjang berikutnya.
Aneh memang kelihatannya. Hanya mengenalnya dari keterangan kerabat dekat dan keluarganya, tak hafal bagaimana wajahnya, belum pernah mengobrol pula, tapi Anna merasa yakin ingin menikah dengannya. Apalagi itu kalau bukan jawaban dari istikharah-nya?
“Mimpi apa aku tadi...” gumam Anna yang berusaha memperjelas mimpi di dalam benaknya.
Mimpi yang dia kira tak akan pernah muncul, rupanya datang padanya semalam. Tepat semalam sebelum Fauzan akan datang ke rumah untuk melamarnya. Sebenarnya, lelaki itu berniat datang minggu lalu, tapi sayangnya ada agenda penting di sekolah yang tak bisa dia tinggal. Dia pun mengabari Papa bahwa akan datang minggu depannya lagi.
Yang artinya adalah hari ini, hari di mana dia mendapat mimpi yang spesial. Mimpi yang membuat hatinya akan lagi berpikiran untuk mundur dari proses ini. Tampak jelas di mimpi tersebut dia bertemu dengan teman-temannya bersama seorang laki-laki yang dia sebut sebagai suaminya. Namanya memang belum sempat disebut karena Anna sudah keburu bangun. Wajahnya pun tak sempat dia lihat. Namun, dari postur tubuh yang dia rasakan di mimpi, sepertinya tak jauh beda dengan Fauzan asli.
Anna menepuk-nepuk pipinya sendiri, memastikan bahwa dia sudah kembali ke dunia nyata. Dia jadi teringat dengan Lav yang sering muncul di mimpinya sebelum-sebelum ini. Sejak pertemuan pertamanya dengan Fauzan, dia baru ingat belum pernah memimpikan Lav lagi. Bahkan mengunjunginya di dunia bayangan saja tidak. Pikirannya terlaku fokus pada apa yang sedang terjadi di kehidupannya.
Padahal, sebelumnya dia bilang pada Lav bahwa tak akan meninggalkannya. Dia tak berniat mengucapkan perpisahan secepat itu. Hatinya tak berbohong soal kemantapannya untuk menikah. Namun, ketika mengingat Lav, dia enggan melepas sosok itu dari sana.
Antara Lav dan Fauzan.
Satu sudah berada di hatinya dari lama, tapi tak nyata. Yang satunya lagi belum ada rasa yang muncul, tapi tak ada penolakan yang muncul terhadapnya. Selain itu, Fauzan juga lelaki asli pertama yang mau menjalankan pernikahan dengannya.
Anna kini seperti memegang dua buah tali yang merenggang sama kuatnya. Dia seharusnya melepaskan salah satu, tapi nyalinya belum cukup besar untuk melakukannya. Sehingga dia tetap membiarkan keduanya tergenggam di tangannya, membuat hatinya terombang-ambing di antara dua keputusan.
***
“Anna di belakang Papa saja. Biar Papa yang bicara pertama sama nenek.”
Hari lamaran, Papa berniat mengabari ibu kandungnya alias nenek Anna yang tinggal di rumah sebelah. Dia memang sengaja merahasiakan soal perjodohan Anna, memilih untuk memberitahu soal itu ketika sudah mau lamaran. Nenek yang Anna punya memang hanya dari Papa, sementara kakek juga tinggal dari pihak Mama. Kakek Anna rumahnya agak jauh, karenanya yang dikabari lebih dulu adalah nenek dari Papa.
Ketukan pintu dan suara salam beberapa kali tak terjawab. Terkadang bukan karena nenek itu tidak dengar, tapi sengaja tak membukanya. Sifat nenek Anna memang sedikit temperamen. Itulah mengapa Mama kerap curhat soal hubungannya dengan ibu mertua yang masih saja membuat sakit hati walau sudah bertahun-tahun. Mama pun selalu mendoakan putrinya agar tidak mendapat mertua yang sifatnya seperti itu.
“Ada apa, Nak?” tanya nenek Anna dengan wajah galaknya yang sudah dikenal seluruh tetangganya.
Butuh lima belas menit bagi Papa dan Anna bersabar sampai pintu terbuka untuk mereka. Sepertinya, sang nenek sedang berada dalam suasana hati yang tidak baik. Anna curiga pemberitahuan ini tak akan berjalan lancar.
“Bu, Dodi mau ngabarin.” Papa mengawali pembicaraan di samping nenek yang duduk di sofa favoritnya. Sementara Anna duduk di sebelah Papa, jantungnya berdegup kencang karena tegang.
“Ada laki-laki yang mau melamar Anna. Dia baik, sholeh, paham agama juga. Insyaallah, nanti malam dia bersama keluarganya mau datang ke rumah untuk melamar Anna. apa Ibu bersedia ikut hadir?”
Papa mengatakannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Tak lupa memasang senyum terbaik. Namun ternyata, apa yang didapatkannya setelah itu tak sesuai harapan. Raut wajah nenek mengeras, alisnya berkerut mendengar kabar dari anaknya.