Tindakan penolakan atas keputusan yang diambil akan selalu ada, baik dari luar atau bahkan orang terdekat.
Tentu saja membuat gadis itu tak nyaman dalam menjalani prosesnya.
Namun, bagaimanapun juga dia harus mengingat satu hal.
Bahwa dia berhak sepenuhnya atas keputusan tersebut, tanpa perlu campur tangan orang lain.
Waktu berjalan terasa sangat cepat sejak hari lamaran Anna. Anggota rumahnya sibuk membicarakan ini dan itu, ataupun pergi ke sana ke mari untuk mengurusi persiapan resepsi pernikahannya nanti. Soal dekorasi dan katering sudah mereka percayakan pada teman baik Mama yang memiliki wedding organizer dan juga berprofesi sebagai make-up artist khusus pengantin. Papa sibuk membantu Anna mengurus berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftar ke Kantor Urusan Agama. Sekaligus berkomunikasi dengan Fauzan yang juga harus mengumpulkan berkas-berkas tersebut.
Meskipun sudah berstatus tunangan, Papa tidak membiarkan Anna pergi berdua saja dengan Fauzan untuk mengurus segala persiapan. Tunangan bukan berarti sudah halal, karenanya Papa masih menjaga betul putri sulungnya. Komunikasi saja masih melalui Papa. Belum pernah sekali pun Anna chattingan dengan Fauzan sampai detik ini. Mengurus surat kesehatan dari puskesmas saja sendiri-sendiri, sesuai kecamatan masing-masing. Hal tersebut tentu mengundang rasa penasaran petugas puskesmas, karena baru pernah melihat ada calon pengantin yang minta surat sehat seorang saja tanpa kehadiran pasangannya. Yang lebih menggelitik lagi ketika Anna tak hafal nama lengkap Fauzan.
“Yang benar saja, masa nggak tahu nama lengkap calonnya?” tanya petugas puskesmas heran.
Anna hanya menyeringai kecil. Beruntung Papa tahu nama lengkapnya—itu pun harus bertanya dulu pada Tante Laila. Fauzan Ali Mubarak, nama yang begitu syar’i menurut Anna. Jauh berbeda dengan nama lengkapnya, Oktavia Anna Savitri. Melihat nama mereka berdampingan saja seperti bumi dan langit.
Di samping kesibukan keluarga Anna yang tampak bersemangat, hubungan mereka dengan sang nenek justru merenggang. Sejak hari lamaran itu, Anna tak sesering dulu mengunjungi neneknya yang rumahnya bersebelahan. Sebelumnya, dia selalu menemui neneknya setiap hari untuk pamit ke kampus. Namun, momen pamit sehari setelah lamaran mengubah segalanya.
“Ya sudah, pergi saja sana. Sekalian angkat kaki dari sini, nggak usah muncul lagi!”
Ucapan pedas itu keluar dari mulut nenek yang lebih berbisa dari biasanya. Didengar oleh Papa dan Mama yang memantau dari luar pagar. Selama hampir dua puluh tahun Anna tinggal di sebelah neneknya, belum pernah neneknya mengeluarkan kata-kata semacam itu kepadanya. Hubungan nenek dan Mama memang tidak harmonis, tapi perlakuannya kepada cucu-cucunya sangat berbeda. Seperti kata orang, kakek dan nenek selalu tampak lebih sayang dari para orangtua. Begitu pun nenek Anna yang selalu peduli pada anak-anak Mama.
Sayangnya, sifat ibu peri dalam diri nenek yang dikhususkan untuk para cucunya lenyap begitu saja setelah tahu Anna hendak menikah.
Anna sendiri tak berani lagi mengunjungi neneknya setelah dibentak hari itu. Dia tak pernah lagi pamit ketika berangkat kampus. Tak pernah lagi mau memberikan sesuatu titipan Mama ke rumah sebelah. Cukup sekali saja telinganya panas karena cecaran neneknya. Karena itu, yang sering mengunjungi nenek setelahnya hanyalah Papa.
“Mama mohon jangan terlalu dipikirkan, ya, Anna. Memang menyakitkan kedengarannya, tapi kita punya pilihan untuk tidak memasukannya ke dalam hati terlalu lama. Kita bisa tidak memedulikannya. Itu yang Mama lakukan selama bertahun-tahun hidup berdampingan dengan nenek. Kalau tidak bersikap seperti itu, Mama sudah depresi dari dulu,” ungkap Mama sembari tertawa renyah.
“Nenek itu lebih sayang sama cucu-cucunya ketimbang sama Mama. Mungkin saja, perilaku keras nenek ketika tahu kamu mau nikah adalah bentuk betapa besarnya kasih sayang nenek padamu. Kamu itu cucu kesayangannya, Anna. Mungkin itulah kenapa nenek denial, karena beliau nggak mau kamu diambil seseorang. Beliau belum siap melepaskanmu yang dalam pandangannya masih seorang anak kecil.”
Sepanjang Mama menuturkan, Anna hanya terdiam. Dia duduk bertekuk lutut di samping Mama yang sedang membereskan lemari buku. Sang ibu tahu betul putrinya selalu memikirkan kata-kata terakhir nenek setiap harinya. Tampak jelas dari raut muka Anna setiap keluar rumah dan melihat rumah nenek. Sebagai orang yang lebih berpengalaman menghadapi nenek, tentu Mama lebih paham soal watak nenek yang sebenarnya.
Wanita tua itu sering membentak tidak selalu karena marah. Terkadang, beliau tidak bisa jujur dalam mengutarakan perasaannya.
“Sudah, sana siap-siap ke KUA sama Papa! Yang semangat, dong!” tukas Mama yang mendorong pelan putrinya untuk bangkit berdiri. “Janjian sama Fauzan jam sembilan, lho. Jangan sampe dia nunggu lama nanti!”