Mereka asing satu sama lain.
Bicara pun saja tidak pernah.
Namun, pada akhirnya keduanya bisa saling terbuka.
Berkat benang merah yang telah lama mengikat mereka tanpa terlihat.
Satu setengah bulan sebelum hari pernikahan. Lebaran tahun itu berbeda dari biasanya. Orangtua Anna kini memiliki destinasi silaturahmi baru, yaitu rumah Fauzan. Di hari kedua lebaran, Mama dan Papa sudah mengunjungi rumah Fauzan untuk silaturahmi. Namun, tanpa membawa Anna. Anna sengaja tak boleh ikut karena Papa ingin menjaga putrinya tidak terlalu sering bertemu calon pasangannya. Cukup Papa sebagai jembatan komunikasi mereka berdua sebelum halal.
“Lho, Anna nggak ikut?” tanya ibu Fauzan ketika kedua calon besannya berkunjung.
Di luar dugaan, ternyata justru ibu Fauzan yang ingin sekali bertemu dengan calon menantunya. Dia bilang sangat rindu padanya karena sudah lama tak bertatap muka. Dari raut wajahnya terlihat bahwa ibu Fauzan tak berbohong. Mama jadi merasa sedikit bersalah, lantas memberitahunya kalau Anna akan ikut datang jika mereka berkunjung ke sana lagi.
Sementara itu, kerenggangan dalam hubungan Anna dan neneknya yang belum pulih juga memberikan kesan baru di hari raya. Yang biasanya mereka berkumpul di rumah nenek, kini tetap berada di rumah sendiri. Agenda sungkeman tetap ada, bahkan Anna juga salaman kepada neneknya dan sempat meminta maaf, tapi sang nenek tetap acuh tak acuh. Salamnya tidak ditepis saja sudah bersyukur.
Papa sudah berusaha yang terbaik selama berbulan-bulan terus mencoba berkomunikasi dengan nenek. Hasilnya memang belum sesuai harapan, tapi setidaknya Anna tak lagi diusir-usir seperti dulu. Mungkin karena masih suasana hari Fitri juga, sehingga nenek tak mau merusak momen bahagia ini. Walau begitu, tetap ada jarak antara Anna dan nenek. Termasuk ketika mereka menghadiri acara tahunan keluarga besar di kota sebelah, nenek memilih untuk ikut mobil Pakdhe, ayah kandung Papa—padahal sebelumnya selalu pergi bersama Anna dan keluarga.
“Anna.” Papa memanggil dan mencolek bahu Anna yang sedang melamun di teras tempat acara keluarga berlangsung. “Tadi Papa baru dapat chat dari Ustadz Fauzan.”
“Chat apa?” tanya Anna. Dia selalu penasaran dengan apa yang dibicarakan Papa dengan tunangannya.
“Dia minta izin untuk nge-chat kamu langsung. Tentu Papa izinkan dan sudah Papa kasih nomor kamu.”
Hampir saja sirup yang sedang Anna minum itu menyembur. Untung saja, dia bisa menahannya agar tidak mengotori taplak meja milik tuan rumah. Hanya saja, dia harus mengorbankan diri terbatuk-batuk setelahnya.
“Apa tadi, Pa?” Anna setengah tak percaya.
“Ustadz Fauzan mau nge-chat kamu langsung.”
Anna buru-buru membuka handphone-nya, memeriksa pesan-pesan yang masuk. Belum ada nomor baru yang muncul.
“Tapi nggak tahu kapan. Dia baru minta izin, mungkin nanti siang atau malam baru nge-chat,” tambah Papa. “Papa balik ke dalam dulu, ya. Kamu di sini dulu sama adik-adik.”
Anggukan kepala menjadi jawaban Anna yang seperti biasa diminta menjaga adik-adiknya saat menghadiri acara keluarga. Si kembar Atta dan Ayya yang sedang liburan pun ikut datang, duduk di sebelah Anna dan sibuk menyantap hidangan yang ada bersama Nabil, adik bungsu mereka. Keempat saudara itu tak kenal dekat dengan sepupu-sepupu jauh mereka. Membuat mereka berkumpul sendiri dan kemana-mana jadi satu ketika hadir dalam acara keluarga besar seperti ini.
Perkataan Papa tadi membuat Anna yang sudah merasa bosan di acara tersebut langsung fokus pada handphone-nya. Walau belum ada notifikasi pesan masuk dari nomor baru yang belum ada di kontaknya, jantung Anna sudah mulai berdegup lebih kencang. Terbesit di benaknya percakapan macam apa yang Fauzan ajukan padanya, dan balasan apa yang harus dia berikan agar tidak terlihat norak.
Waktu berlalu hingga pagi berganti siang, siang berganti sore. Sekarang sudah pukul enam sore, tepat adzan Maghrib berkumandang. Anna sudah kembali ke kamarnya setelah pulang dari rumah saudara tengah hari. Selagi mendengarkan adzan, Anna duduk bertekuk lutut di kasurnya, dengan handphone tergeletak di depan kakinya.
Belum ada pesan dari Fauzan.
Ngapain juga, sih, aku kayak berharap banget dia nge-chat? Kok jadi malah kayak aku yang demen. Udah bener harusnya aku nggak terlalu ngarep, gerutu Anna dalam hari.
Dia akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menunggu dan memikirkannya. Biarlah Fauzan akan jadi menghubunginya langsung atau tidak. Anna sudah tak terlalu peduli.
Ting!
Tanpa menunggu sedetik berlalu, Anna yang sudah beranjak dari kasur mengambil handphone-nya secepat kilat. Nomor tak dikenal terpampang di bilik notifikasinya, dengan rincian pesan berbunyi, “Assalamualaikum, Mbak Anna. Bagaimana kabar Mbak Anna dan keluarga? Taqabalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin dari kami sekeluarga. Semoga keluarga Mbak Anna selalu dalam lindungan Allah.”
Kalimat pembuka yang sangat klise, tapi mampu membuat Anna bingung harus menjawab seperti apa. Dia mematung cukup lama dengan pandangan tertuju pada ponselnya, memikirkan berbagai macam jawaban yang tepat untuk membalas Fauzan.
“Anna! Sudah sholat, belum?!” seru Mama dari luar.
“Bentar, Ma!” balas Anna setengah berteriak.
Padahal hanya ditanya kabar, tapi Anna memilih jawabannya setengah mati. Dia bahkan memutuskan untuk sholat lebih dulu baru menjawab pesan Fauzan.
“Oh, Ustadz Fauzan sudah kirim chat? Bagus, dong,” ujar Mama saat Anna memberitahu apa yang barusan didapatnya.