ENTANGLED In Delusion Love

Disha Kei
Chapter #18

BAB 17

Tidak ada hati manusia yang luput dari kuasa-Nya.

Seseorang bisa menyembunyikan kegelisahannya pada siapa pun, tapi tidak pada-Nya.

Dialah yang paling mengerti kondisi hamba-Nya, yang paling peduli pada mereka.

Namun terkadang, manusia lupa akan Tuhannya sendiri.

Lupa bahwa masih ada tempat untuk mengadu dan bersujud, sehingga berpikir bahwa tak ada lagi di dunia ini yang berpihak padanya.

Hello, Anna! How are you?!

Dengan aksen British yang dibuat-buat, Hana berseru sembari berpose ala-ala mengibaskan rambut begitu temannya membukakan pintu rumahnya. Saat SMA dulu, Hana memang bergabung dalam tim debat bahasa Inggris dan sering ikut berbagai perlombaan debat. Jadi, tak jarang dia mengoceh dengan bahasa Inggris yang sengaja dibuat-buat agar terdengar lucu.

Anna menatap datar temannya yang terkadang berkelakuan absurd itu. “Kangen debat kamu? Kangen dilatih Ustadz Sholeh?”

“Nggak.” Hana menjawab cepat. “Nggak mau lomba-lomba lagi. Capek, tahu. Serunya cuma pas bisa ngomong Inggris doang.”

Hubungan Hana dengan debat Inggris memang seperti love-hate relationship. Dia menyukai bahasa Inggris, tapi di sisi lain juga membenci pelatihan debat yang ketat pada waktu itu.

“Ya, sudah, gih, masuk. Mau jadi pajangan terus di teras?” tanya Anna yang terbahak.

Hana menampar pelan lengan Anna. “Gitu perlakuanmu sama teman yang udah lama nggak ketemu? Katanya kangen.”

“Kangen kita, kan, nggak pernah diungkapin pake physical touch. Tapi pakenya physical attack. Hahaha.”

“Yoi, apa itu peluk-peluk, kita mainnya gampar-gamparan.”

Detik berikutnya, Anna dan Hana berebut menampar pundak satu sama lain, berujung tertawa terbahak-bahak bersama. Setelah sadar bahwa mereka lama mengobrol di depan pintu—karena diamati oleh Mama—Anna pun mengajak Hana masuk ke kamarnya.

Ini adalah kesempatan pertama Hana kembali ke tanah rantau sejak hari terakhirnya di sekolah asrama dua tahun lalu. Setelah kelulusan, murid-murid angkatan Anna diberikan kesempatan mengemasi barang-barangnya yang masih banyak tertinggal di asrama. Itulah kali terakhir dia bertemu dengan sahabatnya, sebelum kembali terpisahkan dengan jarak.

Kedatangan Hana hari ini pun bukan sekedar main. Bukan pula karena perkuliahannya. Kampusnya masih mengadakan kuliah secara daring. Dia rela datang jauh-jauh dari Kalimantan ke Jawa demi menghadiri pernikahan Elia, teman sekelasnya yang pertama menikah.

Acaranya diadakan hari ini dan teman sekelas yang akan datang janjian pergi bersama. Lokasi resepsinya berada di kota sebelah, sehingga mereka perlu naik bis mikro. Mereka akan ketemuan di taman kota pukul sembilan, baru kemudian berangkat bersama-sama. Hana memang sengaja main ke rumah Anna sebelum berangkat. Sekarang pun masih jam setengah delapan, masih ada waktu untuk bersantai di rumah kawannya yang sudah lama tidak dia datangi.

“Kamu beneran terbang ke sini cuma buat kondangan?” tanya Anna.

Hana menggeleng. “Niatnya, sih, besok mau ke Jogja buat survei tempat tinggal. Soalnya beberapa bulan lagi katanya mau dimulai kelas offline.”

“Ngomong-ngomong, tiba-tiba banget, ya, si Elia nikah. Kalau kamu kapan, nih?”

Anna merengut pada Hana yang tanpa sungkan sudah rebahan di kasurnya dengan memasang mimik meledek. Masih ingat saja sahabatnya dengan lelucon zaman kapan. Sepertinya Hana sama sekali tak curiga kalau kawannya sudah dalam proses akan menikah. Memang pergerakan Anna halus sekali, sampai tak ada satu pun orang terdekat dari teman maupun keluarganya yang tahu kalau dia akan menikah sebentar lagi.

“Kapan-kapan, deh,” jawab Anna sekenanya.

Dia berniat memberitahu Hana hari ini, tapi dia sengaja tak ingin mengatakannya dengan gamblang. Memaksa Hana tahu sendiri dari tanda yang diberikan sepertinya akan lebih menarik. Anna tak turut rebahan di kasur, justru memilih duduk di kursi belajarnya. Laptop di hadapannya terbuka dalam keadaan nyala, menandakan bahwa dia sedang mengerjakan sesuatu dari sebelum kawannya datang.

“Wah, wah, lagi ngerjain proyek apaan, tuh? Sibuk jadi freelancer juga, nih?” tanya Hana yang penasaran. Dia beranjak mendekati Anna yang tampak serius berkutat di depan laptopnya.

“Bukan kerjaan—HAH!”

Anna terlonjak kaget mendapati Hana sudah berada di sebelahnya, mengintip apa yang sedang dikerjakannya. Sontak dia sembunyikan layar laptopnya dengan tangan. Tapi sayangnya masih kalah cepat dengan penglihatan Hana yang jeli.

“Undangan nikahan, ya?” Hana mengernyitkan alis. “Ada yang pesan bikin undangan ke kamu?”

“Sudahlah, bukan urusanmu,” dengus Anna.

Dia sengaja mengelak agar Hana semakin penasaran dengan yang barusan dilihatnya. Temannya itu peka, jika dia sadar maksud dari elakan Anna adalah kedok untuk menutupi sesuatu di baliknya, dia akan curiga.

Hana terkesiap. “Na, jangan-jangan... Itu undangan... Kamu?”

Anna hanya melirik pada Hana sebentar, lalu kembali mengerjakan desain undangan itu dengan sembunyi-sembunyi. “Ya... Gimana menurutmu saja.”

“HAH?!”

Teriakan tak percaya Hana melengking sampai menusuk telinga, membuat Anna terlonjak kaget untuk kedua kalinya.

Lihat selengkapnya