Perceraian, perselingkuhan, KDRT, sampai hubungan antara menantu dengan mertua toxic.
Empat topik tersebut merupakan topik di media sosial yang kerap kali muncul di beranda akun Anna menjelang hari pernikahan. Sejak beberapa bulan lalu, berita-berita seperti itu marak sekali dan mudah viral, mengundang banyak netizen untuk berkomentar. Pada awalnya Anna tak masalah dengan itu. Namun, dengan lebih banyak berita yang muncul, perasannya mulai terusik. Terlebih ketika ada berita orang cerai setelah menikah baru delapan hari dan mereka kenal melalui ta’aruf. Memang yang salah tetap individunya dan bukan proses pengenalannya, tapi tetap saja Anna dibuat overthinking karenanya.
Setiap malam dia tak bisa tidur lelap. Selalu sana terjaga sampai hampir tengah malam, itu pun tertidur karena otaknya sudah kelelahan berpikir. Setiap malam berita-berita tersebut kembali diputar di benaknya, sehingga memunculkan kekhawatiran baru yang membuatnya tak bisa tidur.
Kekhawatiran itu awalnya hanya setitik kecil di hatinya. Namun, lama-kelamaan membesar, hingga melahap kepercayaan diirnya. Sampai akhirnya dia berpikir, apakah dia sungguhan sudah siap menikah?
Semua itu terus berlangsung sampai semalam sebelum pernikahan berlangsung. Besok dia harus bangun pagi untuk pergi ke tempat akad lebih awal karena harus dirias. Tapi matanya masih terbuka sampai pukul sepuluh malam. Begitu pun pikirannya yang masih terus bekerja. Merenungkan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan ketika akad nikah akan terlaksana dalam hitungan jam, pikirannya masih belum bebas dari segala kekhawatiran itu.
“Hei, kenapa waktu itu kau menerima lamarannya?”
Anna tertegun. Suara itu. Bisikan dalam dirinya yang telah menghantuinya beberapa hari terakhir. Bisikan yang hanya terdengar di kepalanya, yang menjadi bagian dari diri Anna sendiri. Inilah yang terjadi ketika dia tak bisa mengendalikan sisi overthinking-nya.
“Apa kau benar-benar sudah siap menikah?”
Anna menelan ludah. Dia memejamkan matanya, kemudian mengucapkan kalimat yang sama berulang-kali dalam hatinya. “Aku siap. Aku siap. Aku siap.”
Nasihat Silmi waktu itu kembali melintas di pikirannya. Tentang godaan setan menjelang hari pernikahan yang membuat calon pengantin semakin ragu. Baik kepada calon pasangannya atau diri sendiri. Maka, yang perlu dia lakukan adalah menepis jauh-jauh bisikan-bisikan negatif tersebut, lalu kembali memperbaiki niat agar tetap yakin sampai harinya tiba.
“Apa kau bisa jatuh cinta sama cowok asli, suamimu itu nanti?”
Namun sepertinya, ilmu tersebut tak dapat semudah itu diamalkan. Terutama bagi Anna yang seringkali kalah dengan sisi overthinking dirinya sendiri. Dibanding melawannya, Anna lebih sering pasrah membiarkan sisi negatifnya itu melahap semua kepercayaan dirinya.
Karena sekali saja bisikan itu masuk lebih dalam ke hatinya, akan semakin banyak yang datang memenuhi pikirannya. Seolah-olah ada dirinya seorang lagi yang duduk tepat di sampingnya dan tidak pernah berhenti membisikkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.
“Bagaimana kalau saat nikah nanti kau tidak bisa mencintai suamimu?”
Mata Anna kembali terpejam. Dia berusaha tak menggubris pikiran-pikiran tersebut, berharap bisa segera terhubung dengan alam mimpi.
“Bagaimana bisa kau menikah tanpa cinta?”
“Kalau kau tak bisa mencintainya, apakah bisa terus hidup dengannya tanpa cinta?”
“Kau akan memilih tetap hidup berdampingan atau langsung cerai saja?”
“Tapi, bercerai hanya dalam beberapa hari menikah saja akan terdengar aneh. Bukannya lebih baik dari awal tak bersamanya kalau tidak akan mencintainya? Lalu, kenapa kau menerimanya—”
“DIAM! TOLONG DIAM!”
Anna menutup telinganya kuat-kuat dengan bantal, lalu memejamkan mata sekuat tenaga sampai dahinya berkerut. Dia berteriak dalam hati, menghempas seluruh bisikan-bisikan buruk yang masuk ke telinganya. Rasanya dia ingin menangis saja. Matanya berkaca-kaca saking kalutnya kondisi hatinya memikirkan segala macam rupa kemungkinan yang akan datang.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Anna selagi dia melonggarkan bantalnya dari telinganya. Napasnya sudah lebih tenang sekarang. Kelopak matanya pun perlahan turun tanpa diperintah, menutup pandangannya yang tertuju lurus pada tembok. Pada akhirnya, Anna bisa memejamkan mata dan masuk ke dalam mimpi. Tapi itu pun karena otaknya sudah terlalu lelah memikirkan sesuatu yang seharusnya tak menjadi beban pikirannya.
---
“Anna, apa kau mau pergi lebih jauh denganku?”
Lav dengan tubuh tinggi semapai dan rambut perak mengkilapnya tersenyum pada Anna. Mata hijaunya yang berkilau mampu memikat siapa pun yang melihatnya, selagi telapak tangannya terbuka pada gadis itu. Berharap Anna menyambut uluran tangan tersebut.
Anna yang jauh lebih pendek darinya mendongakkan kepala agar bisa bertatapan dengan cowok itu. “Pergi? Ke mana? Aku tak melihat apa pun kecuali padang bunga.”
Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Nihil menemukan sesuatu yang bisa menjadi tujuan perjalanan mereka selanjutnya. Kata-kata cowok itu jadi terasa hanya candaan belaka.
“Kau tahu, aku bisa membawamu ke tempat yang lebih indah dari ini. Meski kini tak nampak di hadapan kita,” ujarnya. “Kau pasti bosan berada di sini terus, kan?”
Anna tergelak. “Lav, jangan bercanda. Memangnya kau bisa teleportasi?”
“Aku bisa melakukan apa saja. Selagi kita masih berada di alam ini,” tutur Lav dengan nada meyakinkan.