Asing satu sama lain bukan berarti tak akan bisa bersatu.
Sekalipun keduanya baru saling berbincang hari itu juga, bukan mustahil mereka bisa langsung saling akrab.
Karena Tuhan selalu membersamai tiap hamba-Nya.
Dialah yang menggerakkan hati mereka, memberikan rasa pada setiap pertemuan.
Maka, tak mustahil cinta itu datang meski baru pertama kali bertemu.
“Saudara Fauzan Ali Mubarok bin Seno, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya, Oktavia Anna Savitri, dengan mas kawin emas 10 gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Oktavia Anna Savitri binti Dodi Setiawan dengan mas kawin emas 10 gram dibayar tunai.”
Kata “sah” diserukan bersamaan oleh para hadirin dengan kompak setelah penghulu mengucapkannya. Ruangan yang sebelumnya hening karena semua tamu menyimak akad nikah dengan khidmat, kini dipenuhi oleh seruan dan sorakan bahagia. Kedua mempelai pun dipersilahkan untuk menandatangani berkas-berkas yang ada di meja akad, termasuk buku nikah.
Anna berjalan seorang diri menuju meja akad yang berada di tengah-tengah tamu laki-laki. Konsep pernikahan mereka memang terpisah pria dan wanita, dari mulai akad sampai resepsinya pun terpisah. Keduanya akan berada di panggung pelaminan masing-masing meskipun masih satu ruangan yang dibatasi oleh tirai. Maka momen menandatangani berkas ini adalah satu-satunya momen mereka duduk bersebelahan.
Tak perlu ditanya lagi seperti apa perasaan Anna hari ini. Dari sejak berangkat ke tempat acara, dia sudah merasa mulas. Tangannya pun dingin saking gugupnya. Beruntung dia bertemu Dena dan Nurul yang datang dari Jabodetabek dan sampai di Purwokerto pagi-pagi sekali. Selagi Hana belum datang, mereka berdualah yang mencairkan suasana dan membuat Anna sedikit lebih tenang.
Memasuki acara, jantung Anna tak berhenti berdegup kencang. Rasanya belum pernah dia berdebar-debar sekencang ini. Tubuhnya tegang sekali, ditambah telapak tangannya mulai berkeringat. Apalagi ketika dia harus berjalan melewati tamu laki-laki untuk duduk di sebelah Fauzan.
“Silahkan ditandatangani semua berkas ini, ya. Juga di buku nikahnya,” pinta bapak penghulu.
Dalam diam, keduanya bergantian mengisi berkas. Sesekali Anna melirik ke arah Fauzan untuk melihat wajahnya. Walaupun saat ini dia juga tak pakai kacamata, dalam jarak sedekat itu tak mungkin lagi tampak buram. Inilah kali pertama Anna dapat melihat wajah lelaki yang telah menjadi suaminya itu dengan sejelas-jelasnya.
Kulit wajahnya sawo matang, tapi pesonanya tak kalah dari seleb-seleb berkulit putih. Hanya ada sedikit rambut di bagian kumis dan jenggotnya. Hidungnya mancung tak seperti milik Anna. Garis matanya pun tegas, wajar saja dia cukup ditakuti sebagian orang yang tak kenal dekat dengannya. Uniknya, lelaki itu memiliki tahi lalat di bawah mata kanannya.
Anna mengamati wajah suaminya sedetail mungkin. Tampangnya memang bisa dibilang biasa saja, seperti kata Mama pertama kali dulu yang kaget mengetahui Ayya menganggap Fauzan ganteng. Memang jika sekilas lihat tak ada yang menarik dari wajahnya. Namun, Anna mengakui kalau Fauzan cakep setelah diamati cukup lama.
Setelah urusan berkas selesai, fotografer mengarahkan pengantin untuk foto berdua dulu sembari memegang mahar. Kelakuan dua sejoli yang tak mengenal satu sama lain sebelum menikah itu membuat fotografer terheran-heran. Bagaimana tidak, diminta foto satu pose saja lamanya minta ampun. Lamanya bukan karena tak paham pose, tapi karena keduanya gugup untuk menyentuh satu sama lain.
Baik Anna maupun Fauzan belum pernah menyentuh lawan jenis sekali pun. Sama-sama canggung saat tangan mereka bersentuhan dan bergandengan. Apalagi ketika pose-pose yang lain. Anna bahkan melihat dengan jelas tangan Fauzan gemetar hebat waktu dia diminta menyalami suaminya. Untuk pose kecup kening juga sampai dilewati, karena Fauzan sangat malu jika melakukannya di hadapan para tamu.
“Pengantin macam apa mereka,” ujar salah seorang fotografer yang tak habis pikir dengan kecanggungan yang masih ada di antara mereka. “Padahal sudah sah, lho. Kenapa pake malu-malu begitu?”
Sepertinya baru pernah si fotografer menemukan pengantin yang masih canggung walau sudah halal seperti mereka. Wajar saja, mereka tak pernah mengobrol secara langsung sebelumnya, hanya lewat chat. Duduk bersebelahan persis saja baru di meja akad tadi. Nampaknya, mereka perlu waktu berdua saja tanpa interupsi orang lain agar bisa mengobrol dengan lancar.
Papa dan Mama sangat menjaga betul Anna dan Fauzan tidak berinteraksi terlalu dekat sebelum halal. Karenanya, mereka mengganti sesi PDKT keduanya saat sudah halal. Dengan memberikan pengantin baru itu sebuah kejutan agar mereka bisa mengenal satu sama lain lebih dalam tanpa ada gangguan dari pihak luar.
---
“Dah, Anna! Dah, Mas Fauzan! Mama-Papa pergi dulu!”
Anna terpaku di tempatnya ketika orangtuanya meninggalkan dirinya di sebuah kamar hotel. Bukan kamar biasa, melainkan kamar berjenis cottage, lengkap dengan teras dan kursi tamu. Satu-satunya kamar hotel yang masih kosong ketika Papa memesannya sehari sebelum putrinya menikah. Pasalnya, Anna ditinggalkan bersama lelaki yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya.
Dia tak habis pikir kenapa orangtuanya bisa berpikir menaruh mereka di sebuah tempat yang tak bisa diganggu siapapun. Padahal keduanya belum pernah berbincang satu sama lain berdua saja. Tentu Anna tak bisa berpikir positif, sudah lebih dulu membayangkan suasana canggung dan kaku yang akan dialaminya. Bisa saja mereka melewatkan malam ini hingga esok dengan saling berdiam diri.