“Siapa yang berani mengunci Lyan di toilet saat jam istirahat tadi?” tanya Pak Anton dengan nada yang tinggi.
Seisi kelas senyap, membungkam rapat-rapat mulut mereka. Tentu saja itu membuat Pak Anton naik pitam. Ini bukan yang pertama kalinya, sudah berkali-kali Lyan dijahili oleh teman-teman kelasnya.
“Baiklah, tidak ada yang menjawab. Kalian semua saya hukum karena tidak ada yang mau mengaku.”
Kelas menjadi bising, penuh komentar penolakan karena merasa tidak adil. Sedangkan Lyan menunduk lesu di depan kelas sambil memengangi alat bantu dengar yang terpasang di telinganya.
“Kenapa kita dihukum terus sih pak? Toh, kalau nggak ada yang ngaku bukan berarti kita kan pak yang ngunci Lyan di toilet,” sanggah salah satu murid.
“Apa kamu bisa membuktikannya? Bahwa bukan salah satu dari kalian yang melakukannya?”
Murid itu terdiam, ia tak bisa membuktikan ucapannya tadi.
“Harusnya kalian itu melindungi Lyan. Dia punya kekurangan, harusnya kalian bisa merangkul teman kalian agar dia bisa lebih percaya diri. Bukannya malah dijahili seperti ini.”
“Bapak mampu bicara seperti itu karena nerima uang kan dari keluarga Lyan?” celetuk Nadira.
Seisi kelas menatap ke arah Nadira, begitu juga Lyan.
“Bapak berani bicara seperti itu karena orangtua Lyan itu investor terbesar buat sekolah? iya kan? coba aja kalau orangtua Lyan nggak jadi investor sekolah, bapak nggak perlu repot-repot ngebela dia. Siapa juga yang peduli sama orang cacat kayak dia.”
Seisi kelas menyuarakan bentuk setuju atas ucapan Nadira. Membuat kelas benar-benar bising. Pak Anton berusaha menyanggah perkataan Nadira. Kata demi kata yang penuh kebohongan. Lyan tahu itu, apa yang dikatakan Nadira tepat sekali. Tepat sekali menyakiti hati Lyan dengan sebuah fakta yang jelas. Ia berlari meninggalkan kelas, mencari tempat yang aman untuk menangis.
Ia mencopot alat bantu dengar nya. Ini dunianya, penuh dengan kesunyian. Tangisannya tak bersuara namun penuh luka di dalamnya. Ia mengutuk takdirnya. Mengapa ia harus dilahirkan di dalam kesunyian? Mengapa ia harus mengalami ketidaknormalan hidup?
...
Namanya Lyan, masih SMP. Masih kecil untuk paham tentang perbedaan yang ia miliki. Ia seringkali diolok-olok oleh teman kelasnya karena ia tuli. Tak bisa mendengar, tak bisa berbicara. Membuatnya sulit untuk berinteraksi dengan teman-teman sekitarnya.
Ia tak bisa menggunakan bahasa isyarat, kertas menjadi satu-satunya cara untuk berkomunikasi. Para guru sangat menyayangi Lyan, sebab anak itu hidup di bawah bayang-bayang kedua orang tuanya sebagai investor sekolah. Hal ini menimbulkan rasa tidak suka dari kalangan teman-teman kelasnya. Di anak emaskan di bawah bayang-bayang orangtuanya, tentu saja Lyan tidak menginginkan hal itu. Berawal dari kejahilan kecil teman kelasnya yang menyembunyikan alat bantu dengar Lyan sampai ia tidak bisa mendengar penjelasan saat pelajaran. Merambat pada kejahilan-kejahilan lainnya.
Kejahilan yang tadinya hanya sekali dalam beberapa bulan, menjadi sekali dalam seminggu, begitu seterusnya. Sampai kejahilan-kejahilan itu tak memberi Lyan ketenangan barang sekali saja. Tentu saja terjadi hingga penghujung kelas 9. Lyan menyerah, ia memilih untuk tak melanjutkan sekolah. Memilih home schooling. Pihak sekolah berusaha membujuk Lyan untuk tidak berhenti sekolah. Mereka tidak ingin kehilangan sang investor utama, orang tua Lyan.