Entitas Selembar Kertas

Nurvi Selvi
Chapter #2

#2 Teman Buta

"Bulan itu bentuknya seperti apa pak?"

Bapak mengelus lembut pucuk kepala anaknya. Matanya lalu beralih menatap langit malam. Hari itu, langit malam ditaburi jutaan bintang, rembulan membulat sempurna membias jutaan cahaya ke penjuru angkasa.

"Dia bulat, bersinar, juga indah. Sama seperti kamu," ucap Bapak.

Bulan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, menatap kosong ke arah langit. Ia tersenyum bahagia, merasakan belaian sinar rembulan.

"Bulan nggak bisa lihat bulan yang ada di atas sana. Tapi sinarnya menenangkan, Bulan suka sekali."

Lelaki paruh baya itu ikut tersenyum, menatap bahagia pada anak gadisnya. Anak yang menerima takdirnya, tanpa mengusik atau berceloteh, mengeluh pada Tuhan. Ia Bulan, anak gadisnya.

...

Bulan merentangkan tongkatnya, ia harus bergegas pergi sekolah. Usianya 9 tahun kala itu, tapi kebutaan merenggut cahaya hidupnya. Kegelapan menyelimuti masa kecilnya.

"Sudah siap ndo?"

"Sudah pak, ayo berangkat!"

Bapak sangat menyayangi Bulan, hanya ia satu-satunya orang tua Bulan saat ini. Ibu Bulan pergi meninggalkan mereka, berhajat merantau tapi tak kunjung kembali. Bapak tak pernah berharap perempuan itu kembali ke dalam pelukannya. Bersama Bulan saja sudah menjadi titik kebahagiaannya.

"Pak, buku tulis yang kemarin bapak belikan sudah habis. Penuh sama tulisan Bulan," ucap Bulan.

"Cepat sekali habisnya. Kamu nulis apa saja di dalam buku itu?"

"Bulan tulis semua yang Bulan rasakan, persis seperti yang bapak bilang."

Bapak tersenyum sambil mengelus kepala Bulan. Bulan menulis hal-hal yang ia rasakan, keseluruhan emosi yang kadang melipir dalam pikirannya. Bapak mengajarinya demikian. Bulan melambaikan tangannya, lalu memasuki kelas.

"Eh lihat! Si buta datang," ucap salah seorang murid.

Bulan tak pernah merasa minder akan kekurangan yang dimilikinya. Rasa syukur tumbuh dan mengakar kuat di dalam hatinya. Pengajaran tentang ketabahan hidup dari rintangan hidupnya, membuatnya sadar, bahwa hidup selalu berhubungan dengan rasa syukur.

Ia memegang kursi kosong di sebelahnya. Dingin, tak lagi hangat seperti biasanya. Sepi, tak lagi seberisik dulu. Kosong, tak lagi terisi oleh tubuh bernyawa. Tak lagi, denging ribuan kata yang dilontar mulutnya memenuhi telinga Bulan. Ia sendiri, tak lagi ada yang menemani.

...

Lihat selengkapnya