Ephemeral

KATA LUVI
Chapter #16

Chapter 16 - Pagi Yang Berbeda

Motor tua yang ditumpangi oleh Kevin dan Falisha berhenti tepat diseberang rumah Falisha.

“Makasih banget udah dianterin sampe rumah.”

“Iya.”

“Gue masuk dulu, ya.”

Falisha sudah hendak melangkah masuk ke halaman rumah. Namun terdengar suara Kevin memanggil namanya, membuat dirinya membalikkan badan menghadap Kevin.

“Sha.”

“Hm… iya?”

“Besok pagi gue jemput lo.”

Gadis itu membelalakkan matanya dan wajahnya menunjukkan ekspresi kaget.

“Ngg… nggak usah gue bisa berangkat sendiri.”

Tanpa memberikan sahutan apapun dari ucapan Falisha, Kevin langsung pergi melajukan motornya meninggalkan jalanan di depan rumah yang bisa dibilang lumayan megah itu. Falisha mematung. Ia takut jika besok pagi Kevin akan benar-benar menjemputnya. Dia harus apa jika Okta mengetahui hal itu.

“Bu, Isha pulang.”

Falisha sedikit kaget begitu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian melihat mama dan papanya sedang duduk di ruang tamu, menanti kepulangannya.

“Kenapa baru pulang?” ujar papa Falisha dengan nada yang sedikit meninggi.

Ia melihat Bi Siti dengan ujung ekor matanya, sedang berdiri menunduk di balik pintu ruang makan yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak menghiraukan pertanyaan papanya dan langsung berjalan menuju ke ruang makan menemui Bi Siti.

“Bu, udah masak apa buat makan malem?” tanya Falisha sambil merangkul pundak Bi Siti.

“Udah mbak. Mau makan sekarang to?” jawab Bi Siti dengan ekspresi wajah antara takut dan khawatir.

“Nanti aja, Bu.”

Falisha bersikap seolah-olah tidak ada papa dan mamanya di ruang tamu. Setelah bertanya kepada Bi Siti, ia langsung naik ke lantai atas menuju ke kamarnya.

“Falisha! Papa ngomong sama kamu. Memang punya anak satu gak ada nurut-nurutnya, gak punya sopan santun juga.”

Langkah gadis itu terhenti di anak tangga ketiga, lalu membalas perkataan papanya tanpa menolehkan pandangannya kearah sang papa.

“Falisha kira udah gak dianggap anak,” ucap Falisha dengan suara bergetar, kemudian meneruskan langkah kakinya menaiki anak tangga dengan tergesa.

Sejujurnya, air mata Falisha sudah berada diujung matanya. Sekali saja ia mengedipkan mata, pasti air bening itu luruh membasahi pipinya.

Braakk….

Falisha membanting pintunya dengan cukup keras menimbulkan suara berdebam yang terdengar dari lantai bawah. Gadis itu menghempaskan tubuhnya dikasur, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tidak ingin munafik, anak perempuan mana yang tidak sakit hati mendengar perkataan sarkas keluar dari mulut ayahnya sendiri.

Katanya, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Tapi, mungkin memang benar untuk Falisha kecil, tapi tidak untuk Falisha yang sekarang. Falisha yang sudah remaja dan perlahan menjadi dewasa.

*****

Falisha duduk didepan meja belajarnya. Meraih buku catatan kecil berwarna biru dan sebuah pulpen. Air bening itu masih mengalir deras di pipi Falisha. Rasanya, ia juga sanggup jika memang harus menangis semalaman.

Dear Diary…

Kenapa hari ini begitu menyakitkan buatku.

Siang tadi, anak-anak yang haus akan perhatian Kevin menjambakku hingga membuat kepalaku pusing.

Memerintahkanku untuk menjauhi Kevin.

Memangnya sedekat apa aku dengan Kevin di mata mereka?

Tapi perintah dan ancaman mereka membuat sesuatu dihatiku sakit dan bergejolak menolak.

Setelahnya, ancaman dan perintah mereka seakan lenyap ketika aku bersama dengan Kevin siang tadi.

Aku merasa, aku akan tetap aman dan baik-baik saja dengan Kevin.

Petang ini. Setelah aku melupakan sakit hatiku siang tadi yang disembuhkan oleh kehadiran Kevin.

Dengan mudahnya, seseorang yang dianggap ‘Cinta Pertama’ oleh hampir seluruh anak perempuan didunia menghadirkan sakit hati dalam bentuk yang lain.

Lihat selengkapnya