"Falisha...," ucap Utomo – Papa Falisha, membuka percakapan di meja makan malam ini.
Falisha kini berada di meja makan bersama dengan papa dan mamanya. Beberapa saat tercipta keheningan diantara mereka, hingga Utomo - Papa Falisha, membuka percakapan dengan memanggil Falisha. Sedangkan yang dipanggil hanya menolehkan wajahnya tanpa membalas satu patah kata pun.
"Hm... jadi papa sama mama mau cerai bulan..."
"Udah tau," potong Falisha.
Falisha menatap mata Utomo dengan tatapan mata yang berkaca-kaca dan terlihat jelas ada luka yang terpancar dari sorot mata Falisha.
"Malam ini papa sama mama mau ngomongin ini ke kamu karena kamu udah besar, Falisha."
"Ngomongin apa??" tanya Falisha menahan emosinya.
"Tentang perceraian ini, Sha," sahut Rena.
"Aku kira mama sama papa gak peduli tentang aku di urusan perceraian dan percekcokan kalian kemarin-kemarin."
"Mama dan papa baru memutuskan untuk bercerai sekarang karena kita rasa kamu sudah bisa mengerti kita, Falisha. Dulu kami nggak mau cerai karena kamu masih kecil, sekarang kami rasa kamu udah cukup besar untuk mengerti tentang ini," jelas Rena.
"Dari awal Falisha udah gak mau ikut campur urusan papa mama, setauku seharusnya yang bisa mengerti adalah kalian sebagai orang tua. Apa papa sama mama pernah ngertiin dan tau perasaan aku setiap aku denger kalian bertengkar?" tanya Falisha dengan nada yang sedikit meninggi dan air mata yang sudah bersiap untuk terjun membasahi pipi gadis itu.
"Falisha, maksud kita..."
"Maksud apa lagi sih, Ma? Selama ini, aku udah berusaha untuk biasa aja dan acuh dengan masalah papa mama, karena yang aku mau bukan kalian yang selalu berantem. Terus sekarang maksud mama sama papa mau bikin hidup aku tambah sepi, sendirian gak ada support dari siapapun?"
"Falisha, cukup ya kamu bersikap kayak gini ke papa mama!" ucap Utomo yang mulai ikut tersulut emosi.
"Kami berpisah karena memang sudah tidak cocok. Kamu harusnya mengerti dan jangan egois, Falisha!" imbuh Utomo.
Mendengar perkataan papanya, hati Falisha begitu sakit. Apa salahnya dirinya mengutarakan perasaan yang selama ini ia pendam. Ia pikir dengan dirinya mengeluarkan seluruh beban yang ia pendam akan membuat keputusan papa dan mamanya berubah dan memilih untuk memperbaiki hubungan atau mengubah kepurusan kedua orang tuanya. Namun, nyatanya papanya malah sebaliknya dan menuntut Falisha untuk mengerti mereka.
Senyum tipis nan sendu muncul di wajah Falisha berbarengan dengan satu persatu titik air mata turun membasahi pipi putih itu.
"Aku selama ini egois, Pa? Apa sih yang bikin aku di anggap egois? Selama ini aku nggak pernah memaksakan apa yang aku mau, Pa!"
Falisha berdiri dari kursinya, sambil menatap dalam papa dan mamanya secara bergantian.
"Bukannya selama ini yang egois itu kalian, ya? Yang gak pernah mau tau perkembangan anaknya, memaksakan kehendak demi keuntungan pribadi entah itu bisnis entah itu urusan percintaan, dan hanya bisa menuntut," imbuh Falisha yang kemudian beranjak meninggalkan ruang makan.
"Falisha, ingat ya. Kamu bisa ada di rumah ini juga karena kerja keras papa dan mama."
Falisha tidak menyahuti perkataan Utomo, punggung gadis itu semakin menjauh dari hadapan papanya menuju ke kamarnya.
Gadis itu menutup pintu kamar dengan setengah dibanting. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar ke kasur. Menutup wajahnya erat-erat dengan bantal, menyimpan rapat isak tangisnya malam ini. Tidak pernah ia merasakan sakit yang luar biasa di hatinya.
Sebelumnya Falisha selalu merasa sakit hati ketika mendengar papa dan mamanya cekcok atau bertengkar, namun malam ini, sakit hati itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
Malam ini, Falisha merasa ingin berbagi cerita dengan seseorang, isak yang semula ia simpan rapat-rapat sudah terlalu berat untuk ia pendam sendiri. Ia hanya ingin membagi isaknya dengan seseorang, tanpa mereka harus mendengarkan cerita menyedihkan Falisha. Karena menurutnya, jika ia bercerita betapa menyedihkannya keluarganya, hanya akan membuat orang lain menjadi iba dan kasihan terhadap dirinya.
Tangan Falisha meraih ponselnya, terlihat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih. Ia tidak yakin Okta masih bangun, sebab sahabatnya selalu tidur lebih awal dibanding dirinya. Jari lentik itu menekan kontak Okta. Hanya terdengar nada sambung dan tidak ada balasan dari Okta. Jemari lentik itu kembali menekan kontak, pikirannya kalut, ingin dengan segera membagi tangisnya kepada orang lain agar dirinya merasa sedikit lega.