Tangan putih lentik itu mematikan jam alarm yang berdering diatas meja kemudian menarik selimutnya lebih tinggi hingga menutupi wajah gadis itu. Akibat dari menangis semalaman, kepala Falisha sedikit pening.
Falisha berniat untuk tidak berangkat ke sekolah hari ini. Dirinya juga tidak berniat untuk sekedar menghubungi Okta atau siapapun untuk meminta tolong di izinkan kepada wali kelasnya.
Tok… tok… tok.
Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu diikuti suara panggilan dari Bi Siti.
“Mbak Falisha,” panggil Bi Siti dari luar kamar.
“Iya Bu?”
“Mbak Falisha, ayo sarapan. Sudah Bu Siti buatkan nasi goreng kesukaan Mbak Falisha.”
“Isha nanti aja makannya, Bu,” ucap Falisha menolak ajakan Bi Siti untuk sarapan.
“Mbak Falisha nggak keburu mau berangkat sekolah? Mau Ibu bikinin bekal aja?”
“Isha gak berangkat sekolah dulu deh, Bu.”
“Mbak Falisha sakit? Ibu ambilkan makan ke kamar aja, ya?” tawar Bi Siti dengan nada khawatir
“Nggak perlu Bu, nanti Isha turun aja kalo mau makan.”
“Beneran gapapa mbak? Nanti kalo ada apa-apa panggil Bu Siti aja ya.”
Tidak ada sahutan dari dalam kamar Falisha. Sedetik kemudian Bi Siti berbalik badan dan berjalan menuruni tangga meninggalkan kamar Falisha.
Tak berselang lama, gadis itu kembali terlelap dalam alam mimpinya.
*****
Drrrttt… Drrrtttt.
Getaran ponsel Falisha membuat gadis itu beberapa kali terbangun dari tidurnya, membuat Falisha geram, kemudian menonaktifkan ponselnya. Dari sekian banyak notifikasi yang masuk hampir seluruhnya dari Okta. Ia tau, pasti Okta akan melontarkan ratusan bahkan ribuan pertanyaan untuk mengintrogasi dirinya.
Hari ini dirinya sedang tidak mau diganggu. Sejak semalam pun kamarnya masih terkunci. Falisha bangun dari tidurnya dan beranjak duduk di kursi meja belajarnya. Pandangan gadis itu mengarah ke langit, mengamati awan yang bergerak perlahan dan merasakan hembusan angin yang masuk melalui jendela didepannya mengusap lembut pipinya.
Tangan lentik Falisha mengambil buku catatan biru miliknya di sudut ruangan dan meraih gelas yang berisi bolpoin dan pensil warna warni. Sedetik kemudian jemari indah itu menuangkan keresahannya pada buku catatan warna biru tersebut.
‘CERAI??!’
Tulisnya pada satu halaman buku biru itu dengan spidol tebal berwarna merah.
Falisha mengusap wajahnya. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Perlahan air mata Falisha turun membasahi pipinya dan menetes mengenai tulisan spidol yang belum terlalu kering, membuatnya sedikit meleber dan luntur.
*****
Perlahan Falisha mengangkat kepalanya yang semakin berat karena dirinya kembali menangis. Gadis itu meraih satu buku catatan berwarna pink yang lebih besar daripada buku biru kesayangannya dari dalam laci meja belajarnya. Ia membuka halaman pertama buku itu yang langsung disambut dengan dua foto yang ditempelkan atas bawah.
Foto bagian atas memperlihatkan dirinya bersama kedua orang tuanya, ketika kedua orang tuanya belum sesukses sekarang dan kelurganya masih menjadi keluarga kecil yang hangat. Pada foto bagian bawah terlihat foto masa kecilnya bersama dengan 3 sahabat laki-lakinya.
Jika buku biru merupakan buku yang menjadi teman curhatnya, buku bersampul pink ini merupakan saksi hidup masa kecil Falisha yang bahagia dan merupakan tempat dirinya menyimpan harapan dan cita-cita yang ia bangun dulu bersama dengan kedua orang tuanya. Ketika hendak mengembalikan buku pink itu, satu lembar note terjatuh dari dalam buku tersebut. Falisha membungkuk untuk mengambil note itu dan disana tertulis.
Hi Sakura. I will come.