“Oh iya. Kenalin gue Batara.”
Falisha terdiam sesaat mendengar nama laki-laki di sebelahnya. Satu kenangan masa kecilnya terlintas di benaknya. Laki-laki dengan hoodie warna hitam yang sedang duduk disebelahnya menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, berkenalan dengan Falisha. Namun Falisha hanya memandangi tangan yang terulur ke arahnya tanpa membalas jabatan tangan itu.
Flashback on*
“Hai inka, kenalin aku Arya, temannya Mahes sama Mahen."
“Hai juga Arya, aku inka. Salam kenal ya!” ucap Falisha kecil dengan riang saat berkenalan dengan teman barunya.
Flashback off*
“Haloo?” tanya laki-laki bernama Batara sambil melambaikan tangannya didepan wajah Falisha yang sedang terdiam melamun.
“Eh iya, maaf. Siapa tadi nama lo?”
“Nama gue Batara. Batara Arya.”
“Oh iya, gue Falisha.”
“Oke, Falisha… hmm, lo kenapa nangis di taman sore-sore gini?”
“Hehehe, gapapa.”
“Oke deh kalo lo gak mau cerita. Ini gue ada kartu nama mami gue. Disini ada alamat gue, siapa tau lo butuh temen cerita atau temen ngobrol lo bisa dateng ke alamat ini. Dan…,” laki-laki disebelah Falisha menarik tangan Falisha dan mengeluarkan sebuah bolpoin, kemudian menuliskan sederet angka di telapak tangan Falisha.
“Ini ada nomor telepon gue, kalo misal mau ketemuan aja, lo bisa hubungin nomor itu. Tenang gue ga bermaksud jahat apapun sama lo. Gue pergi dulu ya. Bye,” imbuh Batara lalu beranjak berdiri berjalan menjauh dan melambaikan tangan pada Falisha.
“Eh tisunya…,” ujar Falisha, tapi perkataannya tidak terdengar oleh Batara yang sudah terlanjur jauh dari bangku yang diduduki Falisha.
Falisha menunduk, melihat sekotak tisu dipangkuannya, tadi sekilas dirinya teringat akan masa kecilnya dan dirinya tidak asing dengan nama Batara, karena seingatnya salah satu dari ketiga sahabat masa kecilnya bernama Batara.
‘Kayak gak asing sama nama 'Batara'. Apa dia Batara temen gue dulu ya?’ batin Falisha.
*****
Mobil merah milik Falisha sudah terparkir rapi di garasi rumahnya. Gadis itu berjalan menuju teras kemudian mendorong pintu rumahnya.
“Bu, Isha pulang.”
“Dari mana kamu?!”
Bukan Bi Siti yang menyahut ucapan Falisha begitu masuk ke dalam rumah. Sudah ada Utomo di ruang tamu megah di rumah Falisha.
“Bukan urusan Papa.”
“Falisha, Papa mau bicara sama kamu.”
“Bicara tentang apalagi sih, Pa?”
“Kamu duduk dulu. Gak sopan bicara sama orang tua sambil berdiri gitu,” perintah Utomo.
Falisha mau tidak mau menuruti perkataan papanya. Ia duduk menghadap Utomo. Gadis itu menatap mata papanya, sudah tidak ada sorot kehangatan yang tersisa disana. Dalam mata papanya hanya tersimpan ambisi pada pekerjaan dan keegoisan.
“Papa dan Mama sudah mengurus perceraian di pengadilan hari ini….”
Mendengar kata perceraian membuat luka di hati Falisha yang belum kering semakin menganga lebar.
“Terus hubungannya sama aku apa Pa?”
“Kamu mau ikut hidup bersama Papa atau bersama Mama?”
Falisha tertawa getir.
“Aku hidup sama Papa atau sama Mama pun sama aja, diantara kalian berdua juga gak akan ada yang peduli sama aku. Buat apa aku tetep hidup bersama dengan salah satu diantara kalian? Sekarang ada dua orang tua yang lengkap pun nggak ada yang perhatian sama aku apalagi cuma satu orang tua, Pa.”
Utomo terdiam mendengar ucapan anak semata wayangnya. Gadis itu berdiri dari duduknya.
“Oh iya satu lagi, Pa. kalau aku harus milih diantara kalian berdua, mending aku hidup sendiri toh gak ada bedanya.”
"Falisha! Berhenti kamu. Papa dan Mama kerja itu untuk kamu! Kurang perhatian apa kita sebagai orang tua Falisha?! Nanti Papa dan Mama, masing-masing juga mungkin akan memiliki keluarga baru dan kamu akan memiliki orang tua lengkap lagi."
Utomo memerintahkan Falisha yang sudah melangkahkan kaki pergi dari ruang tamu untuk menghentikan langkahnya.