Ephemeral

KATA LUVI
Chapter #39

Chapter 39 - Keputusan Besar

“Gimana sekolah kamu, Falisha?” tanya Utomo.

Keluarga Falisha mengadakan acara makan malam di salah satu restoran terkenal di kota ini. Kini di sana hanya ada kedua orang tuanya dan Falisha.

“Tumben, Papa nanya gini. Bukannya nggak peduli?”

Falisha merasa aneh dengan perlakuan papa dan mamanya. Tidak seperti biasanya, kedua orang tuanya mengajak Falisha makan malam. Bahkan Falisha sudah lupa kapan kali terakhir keluarga kecilnya makan malam bersama.

“Gini, Papa dan Mama bukan ingin berbaik-baik supaya kamu mau menyetujui keputusan yang kami buat. Tapi Papa dan Mama setidaknya ingin mengabulkan apa yang kamu inginkan. Dari kemarin saat kita akan membahas masalah ini kamu selalu menyinggung tentang kami yang kurang memperhatikan kamu, bukan?” ucap Utomo.

Falisha terdiam menatap kedua orang tuanya bergantian.

“Sebelumnya, Papa dan Mama minta maaf sama kamu karena nggak bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu, sayang. Papa dan Mama kurang atau bahkan tidak memperhatikan kamu…,” imbuh Rena.

“Papa sama Mama akan tetep cerai?”

“Hm… maafin kami, Sha. Seandainya hubungan ini masih…,”

“Iya, Pa… Ma… nggak usah diterusin, gapapa kalo papa sama mama tetep mau cerai. Silakan,” potong Falisha.

Mendengar perkataan Falisha, Utomo dan Rena saling bertatapan.

“Aku tau itu juga keputusan berat yang Papa dan Mama putuskan. Dan itu hak kalian berdua bukan hak aku, karena kalian yang menjalani. Hak aku disini cuma mendapat perhatian dan kasih sayang. Tapi selama aku nggak mendapatkan perhatian dari kalian, perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitar aku udah lebih dari cukup.”

Falisha tersenyum getir. Sekuat tenaga dirinya berusaha menahan air mata yang ingin turun ke pipinya serta menahan sakit di hatinya malam ini.

“Falisha, Papa dan Mama sadar bahwa semuanya tidak bisa di berikan atau digantikan hanya dengan uang. Mungkin uang Papa dan Mama sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kamu dan kita. Selama ini Papa dan Mama hanya berpikir bahwa dengan kami memberikan kamu uang yang cukup seluruh kehidupan kamu akan bahagia. Tapi ternyata salah, sekarang kami sadar bahwa kasih sayang yang dulu kamu terima di waktu kecil tidak bisa mencukupi hingga kamu besar sekarang. Papa dan Mama janji, walaupun Papa dan Mama akan bercerai, kami tetap Papa dan Mama kamu, kami masih akan memenuhi kebutuhan kamu. Kalau kamu keberatan untuk tinggal bersama keluarga baru kami, Papa akan berikan rumah yang sekarang kamu tinggali beserta fasilitasnya untuk kamu,” jelas Utomo.

Falisha hanya diam menikmati hidangan makan malamnya tanpa tau harus berkata apa kepada kedua orang tuanya. Sedetik kemudian setelah membahas tentang masalah perceraian orang tuanya, Rena - sang mama, mengalihkan topik pembicaraan.

“Ehm… besok lusa kamu berangkat ke Jepang jam berapa, Sayang?”

“Berangkat jam sepuluh pagi, Ma.”

“Oh iya, waktu itu Mama pernah ketemu sama temen kamu, namanya Kevin kalo nggak salah. Dia teman atau pacar kamu, Sha?”

Satu senyuman tipis terbit di wajah Falisha. Tidak pernah Falisha tersenyum seperti saat ini di depan kedua orang tuanya.

“Dia itu Mahes, Ma. Sahabat Falisha yang dulu pas kita kecil sering main ke rumah sama Mahen dan Arya.”

Percakapan hangat diantara mereka kembali terbangun. Satu tembok yang semula runtuh kini perlahan dibangun kembali, walau akhirnya rumah itu akan tetap roboh jika tiang penyangganya hancur.

*****

“Selamat malam ya, Sayang,” ucap Rena begitu Falisha turun dari mobil sedan yang ditumpanginya, dan kedua orang tuanya sudah berada di mobil masing-masing.

“Maaf, Papa dan Mama nggak bisa bermalam di rumah kita,” imbuh Utomo.

It’s okay.”

Falisha melihat perlahan dua mobil hitam itu pergi dengan arah yang berlawanan. Satu keputusan berat sudah ia buat hari ini dan hatinya lebih tenang dan lega. Benar kata Kevin, dirinya harus bisa berdamai dan bangkit.

Lihat selengkapnya