Ephemeral

Nurul faizah
Chapter #4

04. Cerita Dika dan Kembaran Mika

‘Cowok dingin juga bisa curhat, loh.’

Menurut Dika dan teman-teman komplotannya, yang paling membahagiakan setelah jam kosong di sekolah adalah; Ngumpul bareng. Entah itu mereka yang berstatus jones, jomblo, single, pacaran, hts, atau apa pun itu, yang pasti mereka begitu bahagia jika disuruh ngumpul bareng di satu tempat yang telah mereka tentu kan.

Sebut saja Basecamp.

Dan Basecamp mereka berada tepat di belakang rumah Dika. Orangtua Dika sengaja membangun sebuah rumah kecil yang bertingkat untuk kepentingan Dika sendiri. Ditambah lagi, sejak SMP, Dika dan komplotannya selalu bersama dimana pun mereka berada.

Meskipun mereka hanya berempat; Dika, Gino, Hansel, dan Kayla. Sebenarnya mereka ber-5, namun dikarenakan satunya lagi alias Fabin sedang dihukum yakni bersekolah di Jerman selama 2 tahun, mau tidak mau tinggal lah mereka ber-4.

Elginovalensio : Jangan lupa bawa cemilan yang banyak, jir.

Zikaylanavelan : Eh, eh, eh. Bawa eskrim aice juga, broh! Tadi gue sempat ngintip di kulkas.

Lionelhanselmalveri: Yaelah, njir. Gak usah dengerin mereka. Yang penting lo buruan ke belakang. Lo bakalan bahagia kalo liat pemandangan ini. Ntaps.

Ya begini lah tingkah laku teman-teman Dika yang sebenarnya. Ralat, lebih tepatnya sahabat-sahabat Dika. Dika sendiri tak langsung membalas pesan yang ia terima dari aplikasi Line miliknya, melainkan ia bergegas ke dapur untuk mengambil cemilan dan juga eskrim sebagai makan malam mereka.

“Loh, Dika. Kok gak ngajak sahabat-sahabat kamu makan malem disini?”

Itu adalah suara Johanna. Ibu tiri Dika yang baiknya melebihi malaikat penjaga Cinderella. 3 tahun pasca meninggalnya Ibu kandung Dika, Alex sebagai Papa kandungnya meminang Johanna karena wanita itu begitu mirip dengan alm istrinya dan wanita itu juga cinta kepada keluarga kecilnya.

Dan Dika sebagai anak yang berbakti kepada orangtua, akhirnya merestui permintaan Papanya walaupun sebenarnya ia sedikit tidak ikhlas. Tapi, seiring berjalannya waktu, Dika menerima Johanna untuk menjadi pengganti Ibu kandungnya.

Dika membalikkan badannya. Cemilan dan juga beberapa eskrim yang berada di kedua tangannya langsung jatuh ke lantai akibat refleks keterkejutan yang berasal dari tubuhnya. “Eh, Mama,” Sapanya sambil menyengir.

Johanna berlutut dihadapan Dika untuk mengambil cemilan dan eskrim milik anaknya tersebut. Spontan Dika ikut berlutut, membantu Mamanya. “Kalo mau bawa cemilan yang banyak, jangan lupa pake plastik atau keranjang yang udah mama sediain. Kalo begini kan malah jatuh. Untung jatuhnya di rumah. Kalo diluar rumah kan malah kotor,”

Satu hal yang membuat Dika begitu menyayangi Johanna adalah wanita itu begitu mencintai keluarga barunya.

“Maafin Dika, Ma. Dika mau cepat soalnya tuh bocah-bocah udah kelaperan,” Dika beranjak dari posisinya, mengambil alih plastik besar dari tangan Johanna yang akan ia bawa ke rumah belakang.

Johanna terkekeh, “Iya, Mama ngerti, kok. Yaudah sana, gih. Nanti mereka malah marah, lagi,” Suruhnya.

Dika mengangguk patuh, “Iya, Ma. Dika ke belakang dulu,”

Dika berjalan keluar dari dapur melalui pintu dapur yang berada di sebelah kanannya. Johanna kembali ke ruang tamu; melanjutkan acara baca membaca buku-buku ensiklopedia kesukaannya. Sedangkan Dimas masih berada di masjid bersama Irfan yang tidak lain adalah abang tiri Dika.

Pintu Basecamp terbuka lebar, menampakkan sosok Gino dan Kayla yang sudah berkacak pinggang di ambang pintu. Dika terbahak melihat ekspresi wajah kedua sahabatnya yang tengah menahan lapar. Sedangkan dari posisi Dika sendiri, Hansel terlihat sedang berbicara serius dengan tetangganya di lapangan basket kepunyaan tetangganya itu juga. Kebetulan, Basecamp mereka dan lapangan basket milik tetangganya berada di posisi yang tepat. Alias berada di belakang rumah, dan bersebelahan.

“Demi jenggot Poseidon! Kok lo lama banget, sih!” Gino tidak berteriak. Ia berbicara namun nadanya terdengar tinggi.

 Maklum saja, Gino adalah manusia yang tidak bisa mengendali emosi. Namun jika bersama sahabat-sahabatnya, jika Gino seperti itu, berarti ia hanya sekedar bercanda ria.

Dika memutar bola mata sebal, “Caelah buntut pari, biasanya jam 11 juga baru lo makan,” Dika menerobos masuk kedalam basecamp, lalu meletakkan plastik besar yang sedari tadi ia jinjing.

Sedetik kemudian, Gino terbahak, begitu juga dengan Kayla yang langsung berlari mendekati cemilan yang dibawakan oleh sahabatnya tersebut.

“Bangsat lo, ya! Manggil gue buntut pari,” Gino mengambil eskrim aice dari plastik, dibuka bungkusnya lalu digigit eksrim tersebut tanpa merasa nyilu di seluruh giginya. “Mantab jiwa. Malam-malam makan eskrim,” Dumelnya.

Kayla terkekeh. “Betewe, bang Irfan kok gak ikutan ngumpul?” ia meloncat duduk keatas sofa. Tepatnya di sebelah Gino yang lagi enak-enaknya menikmati eskrim kegemarannya.

Dika berjalan kearah ambang pintu, matanya jeli memperhatikan Hansel yang masih setia berbicara dengan tetangganya tersebut. Tetangga yang tidak ia ketahui namanya.

Lihat selengkapnya