‘Aku sederhana, yang memimpikan hal-hal sempurna.’
Dering bel istirahat memecah keheningan yang terjadi seantero Grand National High School. Murid-murid yang berada di kelas 12 IPA 1 berteriak bergembira karena pelajaran Fisika yang memakan waktu 4 jam dari pagi hingga hampir jam 10 telah usai. Alina dan Nelva yang telah selesai menyusun buku-buku mereka, langsung menghampiri Mika yang tengah asik berbicara dengan Gerald di ambang pintu.
“Iya deh, gak papa. Gue ngumpul bareng teman dulu, ya!” pamit Gerald yang hanya diberi senyuman oleh Mika.
Ah, lama-kelamaan Gerald pasti akan luluh karena terus-menerus melihat senyuman Mika.
“Kantin, kuy?” ajak Nelva yang sudah mensejajarkan dirinya dengan Alina dan juga Mika.
Mika mengangguk, begitu juga dengan Alina. Mereka bertiga pun berjalan menuju kantin yang berada di lantai bawah sambil mendengar cerita dari mulut Mika.
Mereka bertiga melangkah masuk kedalam kantin. Alina memilih untuk memesan makanan, sedangkan Mika dan Nelva langsung menuju meja yang sering Alina dan Nelva tempati jika berada di kantin. Letaknya di tengah, dan tak ada satu pun yang berani menempati meja tersebut karena mereka tahu siapa Alina dan juga Nelva.
“Jadi, lo punya kembaran?” tanya Nelva yang telah menempatkan kursinya, begitu juga dengan Mika yang berada di hadapannya.
Mika mengangguk, “Iya, malam tadi dia pulang kerumah dan janji gak akan ninggalin gue sama bang Juna lagi,” Jawabnya.
Alina meletakkan nampan yang berisikan 3 mangkuk mie ayam keatas meja, tak lupa dengan jus mangga yang ia pesan. “By the way, nama kembaran lo siapa, sih? Siapa tau kan cakep kayak lo,” Alina menempatkan kursi yang berada di sebelah Nelva sembari menarik mangkuk mie ayam miliknya.
Mika mengambil mangkuk mie ayam miliknya, lantas menoleh kearah Alina dan juga Nelva yang sudah mati penasaran. “Kembaran gue Lionel Hansel Malveri,”
Jawaban tersebut berhasil membuat Alina dan juga Nelva membulatkan pupil mata mereka dengan sempurna. Kaget? Bukan main lagi! Pantas saja wajah mereka mirip seperti pinang di belah dua. Ternyata—mereka kembaran.
“Hah?”
“Hah?”
Mika mengerutkan dahinya ketika melihat kedua temannya mengatakan hal yang sama; hah!. Memangnya ada yang salah dengan kembarannya atau—
“Pantesan muka kalian mirip banget! Astaga, astaga! Kok gue gak sadar, ya. Gilak! Hansel itu ganteng banget, Mik. Mana terkenal seantero sekolah, lagi!—Uhhh, mantap jiwa dah pokonya!” Alina heboh sendiri sehingga Nelva menoyor pelan kepalanya.
Memang, Alina adalah salah satu dari sekian ratus perempuan yang menaruh hati terhadap laki-laki itu. Namun ia hanya sekedar menaruh hati, dan kagum. Tidak berlebihan seperti Maddie yang tiap harinya terus-menerus mengejar laki-laki itu tanpa ada kata bosan. Belum lagi, Maddie termasuk tipe perempuan centil yang hobinya nempel sana sini dengan laki-laki yang ia sukai.
Untung saja Hansel selalu mengelak dan selalu mendapatkan waktu yang tepat untuk melarikan diri dari nenek lampir tersebut.
“Gue juga baru sadar kalau seorang Alina suka sama kembaran gue,” Kekeh Mika yang berhasil membuat Nelva terbahak sejadinya. Sedangkan Alina sudah malu karena wajahnya memerah dengan sempurna. “Kenapa gak deketin aja si Hansel. Siapa tau, kan?”
“Yaelah, Mik. Hansel itu sama kayak lo. Susah banget dideketinnya. Bahkan nih, ya! Dia itu gak punya tipe cewek idaman sama sekali. So, siap-siap patah hati buat para penggemarnya. Bahkan si Lidia yang cantiknya mirip lo aja ditolak mentah-mentah sama kembaran lo. Gila, kan?” cerita Nelva. Dan Mika tertawa dibuatnya.
Alina mengaduk mie ayam miliknya kurang bersemangat, “Gue tuh sekedar kagum sama dia, gak lebih,” Serunya, lalu disuap mie tersebut masuk kedalam mulutnya.
“Iya deh, iya. Nah, gue mau cerita nih masalah Dika,”
Nelva mengerutkan dahinya, begitu juga dengan Alina. “Dika?” tanya mereka berdua bersamaan. Bingung sekaligus penasaran.
Mika memperbaiki posisinya. Sebelum ia memulai pembicaraan yang menurutnya sakral itu, ia terlebih dahulu menghabisi mie ayamnya. Kemudian menoleh kearah Alina dan Nelva yang sudah menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Mika.
Mika menghela nafas pelan, “Kemaren, Dika anterin gue pulang ke rumah,”
Sedetik kemudian, kedua insan yang berada tepat di hadapan Mika melongo terkejut. Ya, ini sangat tidak wajar untuk dipikirkan kembali, mengingat Dika adalah tipe laki-laki tidak peka yang tidak pernah mendekati ataupun mengantar perempuan pulang ke rumah. Bahkan, Dika yang tampannya mirip Lucas Wong itu hanya memiliki satu mantan yang tidak ingin ia sebut-sebut lagi.
Haram hukumnya.
“Gak, gak mungkin ini!” Alina heboh sendiri. Entah itu hobinya ataupun memang seperti itu, Nelva dan Mika sangat paham. Jadi, harap maklum lah. “Kok bisa dia nganterin lo pulang, Mik!”
Mika mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.
“Gue juga kaget,” Seru Nelva yang asik mengaduk-aduk jus mangga miliknya. “Kayaknya si manusia es itu pernah kebentur deh kepalanya, makanya kemaren dia nganterin lo pulang kerumah atau mungkin—yaampun!” tiba-tiba Nelva memekik namun tertahan, sehingga Mika dan Alina mulai sedikit merasa panik.
“Mungkin apaan?” desak Mika.
Alina memajukan sedikit kursinya, “Nah, iya! Mungkin apaan, Nel?”
Nelva mendesah berat, “Dia suka sama lo,”
Berakhirnya kalimat tersebut. Sosok yang tidak diharapkan Mika untuk hadir, berada tepat di hadapan Mika sehingga mau tidak mau ia harus membelalakkan matanya terkejut. Begitu juga dengan Alina dan Nelva. Seakan, mereka tengah didatangi oleh malaikat pencabutnyawa.
“Hai,” Dika tersenyum kearah Mika. Fokus kearah gadis itu sendiri.
Mika kikuk, gugup, grogi err semuanya beradu menjadi satu sehingga ia tidak tahu harus jawab Hai juga atau mengangguk atau hanya tersenyum. Tapi, sepertinya ia akan memilih opsi yang pertama agar ia tidak di cap sebagai anak baru yang sombong.
“Hai, lagi,” Balasnya pelan.
Nelva dan Alina ingin sekali tertawa ketika melihat ekspresi wajah Mika yang sama sekali tidak bisa di tebak. Antara ingin kesal, marah, senang, atau mungkin semuanya.
Dika mengangguk. Ia memasukkan kedua tangannya kedalam kedua saku celananya. Ia tak lagi berbicara sehingga ingin sekali rasanya Mika menendang tulang kering laki-laki itu.
Bukan karena ia merasa laki-laki itu terlalu dingin. Melainkan ia sudah tidak tahan mendapatkan tatapan mematikan dari seluruh murid-murid perempuan yang berada di kantin tersebut.
Ya, mereka melihat Dika menyapa dan menghampiri Mika.
Nelva berdehem. Dan Mika rasa Nelva menyelamatkannyawanya hari ini. “Jadi, apa tujuan lo datang kesini, manusia es?” tanyanya sedatar mungkin.
Mika heran. Entah dendam apa yang membuat Nelva tampak tidak suka terhadap Dika. Begitu juga dengan laki-laki itu ketika melemparkan tatapan malas kearah Nelva. Sepertinya mereka memiliki masalah, namun tidak ada satu pun yang tahu.