‘Kita itu diibaratkan proton dan neuton. Yang disatukan oleh sebuah reaksi. Dan nama reaksinya adalah cinta.’
Suasana kantin tidak begitu ramai, mengingat kebanyakan murid-murid berada di lapangan basket outdoor karena sedang menonton pertandingan basket antara Grand National High School dengan SMU Tunas Bangsa.
Salah satu alasan mengapa murid-murid menonton pertandingan tersebut adalah banyaknya cogan-cogan alias cowo ganteng.
Apalagi tim basket dari GNHS terdiri dari Dika, Hansel, Baim, Kayla, dan Veno. Duh, makin meleleh lah mereka semua.
Tetapi, ada juga murid-murid yang tidak begitu menyukai pertandingan basket. Contohnya adalah Mika, Alina, dan Nelva. Mereka lebih memilih untuk nongkrong di kantin daripada berpanas-panasan menonton pertandingan yang katanya banyak sekali cogan.
Kalau kata Mika, dogan bukan cogan.
“Setelah lo nyeritain semua itu, gue narik kesimpulan kalo Dika itu suka sama lo,” Kata Alina sembari membolak-balikkan lembaran novel teenlitnya yang baru ia beli semalam.
Nelva mengangguk setuju, “Nah, gue setuju sama si Alina,”
Mika mencebikkan bibirnya. “Yakali Dika suka sama gue. Gue aja dingin mulu kalo sama dia,” Celetuknya.
Nelva terkekeh, “Yaelah Mika sayang. Suka adalah reaksi ilmiah dari seorang manusia, jadi wajar kali kalo dia suka sama lo. Lagian nih, ya. Lo mesti terbuka ke Dika, jangan diam mulu kayak ayam sayur,” Saran Nelva. Entah kenapa Nelva lebih cocok menjadi Nelva Teguh.
Alina mengacungkan jempolnya dari balik novel, “Kalo kata gue nih, ya. Jangan sia-siain orang yang sayang sama lo. Pamali banget, entar kena karma,”
Mika terdiam. Kalimat Alina berhasil menohok lubuk hatinya. Ia harus berpikir lebih matang lagi, mungkin kah ia harus menerima kenyataan jika Dika akan melakukan pendekatan dengannya? Atau menolak kenyataan dengan cara menghindari Dika terus-menerus.
Rasanya, Mika tidak tahu harus memilih opsi yang mana. Ia begitu dilema dan kebingungan. Di satu sisi, ia tidak ingin mengenal laki-laki itu lebih jauh lagi. Tapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu di dalam hatinya yang bergejolak layaknya kupu-kupu terbang.
Jangan bilang—Ya Tuhan, ini mustahil.
Seorang Mika menyukai Dika. Yang benar saja!
“Kayaknya Mika lagi mikirin omongan kita, deh,” Alina menyenggol lengan Nelva, dan perempuan berambut sebahu itu melirik kearah Mika.
Nelva terkekeh, “Bagus, deh. Gue pengen dia bahagia, apalagi katanya Dika itu bakalan sayang banget sama perempuan yang dia suka,” Cetusnya.
Alina mengangguk setuju, “Btw, lo sama Baim gimana?”
“Biasa. Dia sama basket, gue sama karate,”
Mika yang tersadar dari lamunannya langsung ikut-ikutan pembicaraan yang sebenarnya sama sekali tidak ia mengerti, “Kalian ngomongin apa, sih?”
“Masalah si Nelva sama pacarnya, Baim itu loh,” Seru Alina.
“Oalah, kalo menurut gue Baim ganteng kok,” Timpal Mika.
Nelva memutar bola mata sebal, “Dia emang ganteng. Tapi nyebelin! Kesel gue jadinya,” Ia menggerutu.
Ya memang, Baim Alfindo adalah salah satu laki-laki yang tergolong aneh bin ajaib. Ia mempunyai pacar, namun berkencan dengan bola basketnya. Kemana-mana selalu dengan bola basket. Nelva termasuk beruntung karena menjadi kekasih hatinya, mengingat banyaknya perempuan diluar sana yang berebutan ingin menjadi kekasih Baim.
Eh si Nelva yang sama sekali tidak mengenal laki-laki itu, malah ditembak didepan orang ramai. Nelva masih ingat, hingga kini.