‘Gak baik baperin anak orang. Entar kalo sakit gimana? Sakit hati maksudnya.’
Tidak terasa, sudah hampir 2 bulan lamanya Mika berada di sekolah barunya. Susah senang ia lalui bersama Alina dan Nelva. Ditambah lagi, sebentar lagi ia akan menghadapi yang namanya Ujian Nasional, otomatis ia harus fokus terhadap pelajaran agar nilai yang ia kejar berhasil ia dapat kan.
Maklum, Mika memiliki cita-cita untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris. Agar bisa menemani sang nenek—Anna— disana yang hanya tinggal bersama kedua anaknya yang masih kuliah.
Namanya Falio dan Felian. Duo pecicilan yang kuliahnya main-main, tapi tujuan mereka serius. Sisa anak dari Anna sudah menikah dan memilih tinggal dirumah masing-masing. Dan untuk orangtua Mika, mereka berhasil membuat Anna merasa kehilangan secercah harapan miliknya.
Selama 2 bulan ini, tak hanya pengalaman berteman dan merubah diri yang Mika dapat kan, ia juga masih didekati oleh laki-laki yang tidak pekanya melebihi Hansel dan Juna. Siapa lagi kalau bukan Dika. Ia sering mengajak Mika jalan, makan bersama, pergi ke sekolah bersama, pulang bersama, beli novel bersama, bahkan Dika pernah nekat untuk memanjat balkon kamar Mika demi bertemu perempuan itu.
Mika heran. Dika sengaja membuatnya terbawa perasaan, atau Dika dan dirinya hanya lah sebatas sahabat semata?
Pagi ini, kelas 12 IPS 3 tidak kedatangan pak Juhdi sehingga kelas tersebut hiruk-pikuk bagaikan pasar yang menjual sayur-mayur. Beberapa dari mereka yang bermayoritas perempuan, memilih untuk pindah ke belakang, biasa lah mereka akan menonton film drama Korea yang nantinya akan membuat mata mereka mengeluarkan buliran-buliran air bening.
Sedangkan yang bermayoritas laki-laki, memilih untuk ke kantin, dan juga ke rooftop.
Namun tidak untuk Dika and the gengs.
Keempat laki-laki berparas tampan itu memilih untuk nongkrong di pinggiran lapangan basket outdoor dengan ditemani cemilan-cemilan kesukaan mereka. Hm, kalau sudah begini, mereka mah betah sampe pulang sekolah.
“Kok tumben ya pak Juhdi kagak masuk. Heran dah gue sama si doi,” Celetuk Kayla sembari menusuk sedotan kedalam susu kotak miliknya.
“Ya mungkin pak Juhdi lagi ada urusan. Atau mungkin lagi ke kondangan,” Seru Gino.
Dika terbahak, sedangkan Hansel hanya bisa terkekeh kecil. “Ya kali pagi begini ke kondangan. Biasanya juga sore atau malam,” Cetus Dika, masih terbahak.
“Eh, hubungan lo sama si Mika gimana? Ada perkembangan kagak?”
Dika mendengus pelan. Walaupun sudah 2 bulan ia mendekati perempuan itu, tetap saja ia merasa belum berani. Ya, Dika pengecut dan ia sadar akan kekurangannya itu.
“Gue bingung. Dika teh maunya apa, coba,” Dumel Gino, layaknya mak-mak yang tinggal di komplek perumahannya.
Hansel menoyor pelan kepala Gino, “Elu tu blasteran. Kalo ngomong jangan pake bahasa Sunda, tau kok yang maminya asli Indonesia,” Gino terkekeh mendengar ocehan dari mulut Hansel.
“Ya, Mami kita semua kan emang asli Indonesia,” Seru Kayla.
“Udah udah. Kita kan mau bahas masalah Dika and the relationshitnya,” Sindir Hansel yang berhasil membuat wajah Dika merah padam.
“Bangsat lo, Sel,”
“Udah lah, Dik. Tembak aja langsung gimana?” desak Gino. Gino mah memang begini. Maunya yang instan, tidak mau menunggu proses.