‘Tak ada yang lebih baik dari cinta orangtua.’
Hansel dan Juna berjalan mondar-mandir layaknya orang-orang kehilangan arah semenjak Dokter Cantika masuk kedalam kamar Mika untuk memeriksa keadaan perempuan itu. Mereka panik bukan kepalang, bahkan hingga saat ini kepanikan itu masih bersarang di tubuh kedua insan tersebut.
Pagi tadi, ketika Juna masuk kedalam kamar adiknya untuk mengajaknya sarapan bersama, perempuan itu terlihat meringkuk di ranjang tidurnya. Juna pikir Mika hanya keletihan, namun ketika Juna memperbaiki posisi tidur adiknya, wajah Mika benar-benar pucat layaknya orang baru meninggal kemarin. Ditambah lagi tubuhnya yang dingin, hidung yang dimasukkan dua buah tissue(Juna yakin hidung Mika mimisan), dan yang tak kalah mengejutkan adalah;
Mika memanggil nama Fios. Nama laki-laki yang pernah membuat hidupnya berantakan.
Karena panik bukan kepalangnya berhasil menguasai tubuh Juna, akhirnya ia berteriak histeris memanggil Hansel, bibi yang mengurus Mika, dan para satpam.
Dan begini lah akhirnya. Mereka berada di luar kamar Mika. Bibi Juni sedang memasak bubur, para satpam kembali ke habitat mereka semula, tukang kebun asik memotong sana-sini tanaman hias yang dibeli Juna minggu lalu, dan supir pribadi mereka tengah mencuci mobil sembari bersenandung ria.
Benar-benar luar binasa.
Kepanikan dua insan tersebut harus terhenti ketika melihat sosok dua perempuan alias Nelva dan Alina sedang berlarian menaiki tangga yang nauudzubillah banyaknya sambil terengah-engah. Alina berpikir, apakah Mika tidak lelah memiliki kamar dilantai dua? Dan harus naik turun tangga setiap hari? Sedangkan didalam pemikiran Nelva mengatakan jika rumahnya saja yang bertingkat, tangganya tidak terlalu banyak seperti dirumah Mika yang pakai acara ada pilar-pilarnya pula.
“Anjir, kalian beneran bolos!” pekik Hansel kaget. Juna menoyor pelan kepala Hansel karena tidak sopan berkata a-n-j-i-r di depan perempuan.
Pamali. Nanti dibenci perempuan.
Alina mengatur nafasnya, begitu juga dengan Nelva. “Yaiya lah. Lo gak liat gimana paniknya kita berdua waktu lo bilang Mika kenapa-kenapa!” cerocos Alina.
Alina memang suka sama Hansel. Tapi bukan berarti ia harus jaga imagenya. Ia lebih suka bersikap seolah itu lah dirinya, daripada jaim tapi ya begitu lah. Kalian pasti mengerti.
“Sekarang, lo harus jelasin ke gue sama Alina. Apa yang terjadi sama Mika? Daripada ntar lo ditonjok sama Baim gara-gara lo nyuruh gue bolos,” Nelva melipat kedua tangannya ke depan dada, agak sok cool lah.
Hansel bergidik ngeri. Lebih baik ia menjawab pertanyaan dari Nelva, daripada ia harus main adu tonjok bersama Baim kesayangannya. Semua orang tahu kalau Hansel lebih dekat dengan Baim daripada sahabatnya yang lain. Jadi, ia tidak mau membuat kericuhan walaupun sebenarnya Baim sama sekali tidak akan menonjok dirinya.
“Iya, gue bakal kasih tau so—”
Dokter Cantika melangkah keluar dari kamar Mika. Juna dan Hansel langsung mendekati Dokter tersebut, masa bodo dengan Nelva yang melemparkan tatapan tajam kearah laki-laki itu. Alina mengamit lengan Nelva, mengajak perempuan itu untuk mendekati Dokter yang baru saja keluar dari kamar temannya.
Nelva penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada Mika.
“Adik saya gak kenapa-kenapa kan, Dok?” tanya Juna mendesak, ia terlihat paling panik dari Hansel.
Dokter Cantika menyimpan stetoskop miliknya kedalam saku jasnya, “Saya rasa, Mika harus di bawa ke Rumah Sakit untuk melihat perkembangan kankernya,”
Hah!
Alina dan Nelva membelalakkan mata mereka secara bersamaan. Tunggu! Mereka tidak salah dengar, kan? Kenapa harus kanker, kenapa?