‘Gue bakalan selalu ada untuk lo. Kapan dan dimana pun itu.’
Satu hal yang Dika harapkan didalam masa-masanya yang begitu sulit ini;
Bangunkan Mika dari tidur panjangnya.
Dan harapan Dika dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa ketika laki-laki itu masih menggenggam erat tangan kanan milik Mika. Mika tersadar lalu mengedarkan pandangannya, merasa kebingungan. Buru-buru Dika menekan tombol merah yang berada disamping ranjang pasien. Dalam beberapa saat saja, Dokter Cantika berserta Juna dan Hansel berlarian masuk kedalam ruang inap tempat Mika berada.
Dokter Cantika tersenyum tipis ketika usai memeriksa kondisi Mika saat ini. Setidaknya Mika memiliki harapan hidup yang sedikit, daripada tidak sama sekali.
“Alhamdulillah, detak jantung dan semuanya stabil. Tapi.,” ucapan Dokter Cantika terhenti begitu saja.
Dika, Hansel, dan Juna lantas menoleh kearah Dokter Cantika dengan tatapan apa-maksud-dokter?-kenapa-gak-langsung-jelasin-aja. Dokter Cantika yang menerima tatapan tersebut hanya bisa meringis, kemudian menghela nafas berat. Ia tidak mengubris kan ketiga insan tersebut, ia malah tersenyum kearah Mika yang sepertinya ingin mendengarkan lanjutan dari ucapan tadi.
“Pasti ada yang gak beres sama kondisi Mika. Iya kan, Dok?” tanya Mika dengan senyum tipisnya.
Lagi. Dokter Cantika menghela nafasnya dengan berat. “Ya begitu lah, Mika. Setelah di periksa, virus di kanker kamu telah menyebar ke seluruh tubuh. Termasuk ke saraf kamu, Mika,”
Penjelasan dari Dokter Cantika berhasil membuat dunia Juna, Hansel, dan Dika runtuh dalam seketika.
“Dan karena hal itu juga, mulai sekarang yang masuk kedalam ruangan Mika, maksimal 2 orang. Karena saya takut nanti Mika terasa terganggu,” Jelas Dokter Cantika. “Jangan lupa untuk pake jas warna hijau yang tergantung disana,” Dokter Cantika menunjuk kearah jas hijau yang tergantung rapi di sebelah pintu masuk.
Mika yang mendengar penjelasan dari Dokter Pribadinya hanya bisa tersenyum tipis. Ini semua dilakukan untuk kebaikannya sendiri.
“Jadi, maksud dari semua ini Mika belum dibolehin pulang ke rumah?” tanya Juna blak-blakkan.
Dokter Cantika mengangguk. “Kecuali jika Mika sudah gak—”
“Mika gak betah, Dok. Mika pengen pulang. Istirahat dirumah, gak papa kalo diinfus. Yang penting dirumah,” Pinta Mika pelan, hampir tak terdengar. “Mika mohon, Dok,”
Juna tersenyum lebar. Ia lebih senang jika adik bungsunya di rawat di rumah daripada di rumah sakit. Dan jika Mika berada di rumah, ia lebih leluasa untuk menjaga dan melindungi adiknya. Apalagi ada Hansel, Dika, Alina dan Nelva.
Kalau berada di rumah sakit, Juna angkat tangan karena ia benar-benar tidak sanggup harus bolak-balik. Tapi jika sudah diujung tanduk, mau tidak mau ia akan ikhlas berada di rumah sakit.
Taukah kalian mengapa Juna tidak menyukai rumah sakit?
Jawabannya adalah; ia benci bau obat dan suntik.
Cukup menggemaskan.