‘Mungkin ini yang namanya karma. Gue ninggalin dia demi lo yang sama sekali gak anggap gue ada.’
Cuaca panas begini, enaknya menikmati es jeruk yang dibuat oleh Mama Fabin.
Mama Fabin adalah salah satu chef terkenal di Indonesia sehingga apa pun yang dibuat oleh wanita itu, pasti terasa begitu nikmat. Kalau kata Gino, Fabin beruntung karena memiliki seorang Ibu yang bisa memasak apa pun yang laki-laki itu ingin kan.
Dulu, sebelum Fabin dihukum untuk bersekolah di Jerman. Dika, Gino, Kayla, dan Hansel selalu mendatangi rumah Fabin hanya untuk menikmati masakan lezat dari chef terkenal. Mama Fabin dengan senang hati memasak apa pun yang diinginkan oleh sahabat-sahabat anaknya tersebut.
Dan, mereka semakin merajalela akibat masakan tersebut.
Sepulang dari sekolah, Fabin memilih untuk kembali ke rumah. Ia tidak mau berkeliaran kemana pun yang sebenarnya ingin ia laksanakan, mengingat Daddynya baru saja menghapuskan seluruh hukuman yang pernah pria itu lakukan. Meskipun Daddy Fabin berada di Jerman, tetap saja ada mata-mata yang selalu mengawasi Fabin sehingga laki-laki itu tidak bisa bergerak secara leluasa.
Lagipula, berada di rumah sambil bermain game di ruang bermain lebih baik dari pada nongkrong di Cafe; menghabiskan uang.
Gerbang besar yang bewarna emas, langsung dibuka oleh para satpam yang bekerja dirumah Fabin. Motor ninja hitam yang dikendarai oleh laki-laki itu langsung mengklakson, dan para satpam langsung mengangguk seolah paham dengan klakson yang dibunyikan oleh Fabin.
Fabin melepaskan helm fullface miliknya, lalu melangkah turun dari motor ninjanya. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok perempuan yang seharusnya tidak ia temui saat ini.
Perempuan itu melipatkan kedua tangannya ke depan dada, dengan wajah yang sangat Fabin yakini; perempuan itu tengah marah besar dengan dirinya.
Dan perempuan itu adalah Bianca. Saudara tiri Dika.
“FABIN!” teriak Bianca dengan nada tingginya.
Kalau saja Fabin memiliki pilihan. Fabin lebih memilih untuk terjun ke dalam laut Hitam daripada mendengar pacarnya berteriak layaknya Banshee yang sering ia lihat di film-film.
“Apaan, sih!” Fabin mengusap kedua telinganya.
Bianca dengan kesalnya, menghampiri Fabin yang masih berada didekat motor ninja miliknya. “Jadi, kamu pulang dari Jerman diem-diem gitu dari aku?! Hebat kamu, ya! Gak tau apa aku kayak ibuk-ibuk kehilangan anaknya,” dumel Bianca.
Jujur, Fabin benci dengan situasi seperti ini. Seolah Bianca mencintainya. Seolah Bianca menganggapnya sebagai seorang pacar. Padahalnyatanya tidak.
“Udah lah, Bi. Lagian aku udah ada di depan kamu. Sini peluk dulu,” Fabin merentangkan tangannya, namun diacuhkan oleh Bianca.
Ya Tuhan, sabarkan lah mas Fabin.