‘Yang cinta sama kamu, pasti bakalan selalu ada buat kamu.’
Ada rasa yang sangat tidak wajar didalam benak Fabin saat ini.
Jujur, laki-laki itu merasa sedikit bimbang dengan apa yang ia rasakan sekarang. Ia merasa sedang dilema akan keputusan apa yang akan ia ambil.
Ia ragu dengan semua ini.
Takut jika apa yang ia tebak salah dan akan berujung sakit nantinya.
Fabin mengusap wajarnya gusar. Ia beranjak dari posisinya, berjalan menuju balkon kamar miliknya yang penuh dengan tanaman botani lucu.
Jauh sebelum ia dan Bianca menjalin hubungan spesial yang pada akhirnya berujung kandas di tengah jalan. Ia sempat mendekati Maddie hingga saat ini.
Gila? Tapi itu lah faktanya.
Fabin merasanyaman bila berada di samping Maddie, merasa tenang, merasa hidup, bahkan ia menyukai perempuan itu. Walaupun ia sadar jika cintanya bertepuk sebelah tangan karena Maddie menyukai Hansel; sahabatnya.
Dan karena itu lah Fabin memilih untuk menjalin hubungan bersama Bianca, dan tetap berhubungan dekat dengan Maddie.
Tapi kali ini, tidak ada hubungannya dengan Bianca. Mika apa lagi. Ini berhubungan dengan Maddie; perempuan yang mengidap penyakit sama persis dengan Mika.
Setidaknya Maddie masih tahap awal.
Perempuan itu terlihat berbeda dari awal mereka dekat. Dalam arti kata, Maddie lebih terbuka dan Fabin takut jika Maddie hanya membutuhkan teman. Walaupun sebenarnya Fabin mau-mau saja. Tapi, percayalah, Fabin ingin lebih dari kata teman.
Fabin menghela nafas berat. Fiks, kali ini ia harus meminta bantuan Mika yang terbaring lemah diatas ranjang tidur.
Mungkin didalam hidup Fabin, inilah bagian terburuk yang pernah ia alami.
●●●
“Saya mau jenguk Mika, bi,”
Kalimat itu berakhir di sebuah kamar yang terisolasi dari dunia luar. Kamar perempuan yang dipenuhi dengan berbagai macam alat medis yang sama sekali tidak Fabin ketahui namanya. Yang Fabin tahu hanyalah tiang infus dan jarum suntik.
Maklum. Fabin sangat anti dengan dua macam barang aneh itu.
Perempuan yang sangat ingin Fabin temui sedang menelan 4 butir obat beserta air yang berada di dalam gelas. Semenjak penyakitnya bertambah parah, dosis obatnya pun semakin bertambah guna membunuh virus yang menyebar didalam tubuhnya.
Sayang sekali, dosis tersebut sama sekali tidak mengurangi apa yang mereka kehendaki.
Mika tersenyum girang ketika melihat sosok Fabin yang menggunakan jas hijau sedang tersenyum lebar kearahnya. Laki-laki itu membawa Macbook miliknya, dan segera menduduki kursi yang telah disediakan disamping ranjang tidur milik Mika.
“Gue kangen lo!” serunya masih tersenyum lebar.
Fabin terkekeh, ia mengusap lembut pipi Mika. “Gue lebih, tau,”