Ephemeral

Nurul faizah
Chapter #18

18. Isi Hati Nelva

‘Selalu ada yang baik di luar sana jika kau mencari. Hanya saja, terkadang yang lebih baik tidak menjamin akan bertahan lebih lama ketimbang yang sanggup melengkapi mu dengan kekurangannya.’

Sakit.

Itulah yang dirasakan oleh Nelva saat ini. Ia ingin menangis sekuat hatinya, meluapkan semua kekesalan yang berada didalam benaknya. Namun, hingga detik ini ia sama sekali belum melakukan hal tersebut. Ia masih berdiam diri jika berada di lingkungan sekolah. Dan jika berada di lingkungan rumahnya, ia akan memukul samsak tinju kesayangannya hingga buku-buku jarinya mengeluarkan darah segar.

Nelva benci dengan keadaannya saat ini. Dimana, hubungan antara dirinya dan Baim gantung bak jemuran.

Tiga tahun mereka bersama-sama, dan sekarang Baim dengan mudahnya mengacuhkan dirinya. Dengan alasan yang direkayasa dengan tidak sulit. Seakan ketika menjetikkan jari saja, alasan apapun siap untuk diluncurkan.

Nelva heran. Ia adalah manusia atau boneka, sih?

‘Buk’

Nelva melayangkan pukulannya kearah samsak bewarna hitam yang tergantung sempurna di hadapannya saat ini. Sudah hampir 2 jam lamanya ia berada di ruang tinju khusus dirinya sendiri. Hanya karena kelakukan gila Baim.

Pukulan terakhir berhasil membuatnya jatuh terduduk keatas lantai. Ia meringis, namun sedetik kemudian tangisnya pecah. Ia benar-benar tidak kuat jika harus terus menghadapi kelakuan Baim yang sama sekali tidak berubah sejak dulu.

Alina yang baru saja sampai diruangan tinju milik Nelva, langsung berlarian bak dikejar malaikat maut ketika melihat sahabatnya itu menangis sesegukan dibawah samsak tinju miliknya. Ia langsung merengkuh perempuan itu, dan menenangkannya secara perlahan-lahan.

“Gue capek. Gue gak pernah dihargai. Gue gak pernah dianggap. Apa salah gue, Lin?”

Alina tidak menjawab. Ia terus mengusap punggung Nelva yang terus bergetar karena tangisannya yang tidak berhenti sedari tadi.

“Gue mau ke rumah Mika, Lin. Ayo kita ke sana, ayo tidur di sana,”

Alina mengangguk, lantas ia mengajak Nelva untuk berdiri. Tak lupa ia menyuruh pembantu Nelva untuk memasukkan beberapa baju miliknya dan juga Nelva ke dalam koper.

Mungkin, mereka akan berada di rumah Mika selama beberapa minggu.

●●●

Alina meletakkan koper pink miliknya dan juga Nelva ke dalam kamar tamu yang berada tepat di sebelah kamar Mika. Rasanya asing dan sepi mengingat tidak boleh sembarang orang yang masuk ke dalam kamar milik sahabatnya itu. Meskipun ia berada di kamar tamu, rasa sepi berhasil melandanya karena suara pendeteksi detak jantung Mika terdengar hingga ke arah kamarnya sekarang.

Alina dan juga Nelva memasang jas hijau, tak lupa mereka mencuci tangan, setelah itu mereka berdua masuk kedalam kamar Mika yang teramat sepi. Bau-bau obat-obatan mulai menyeruak masuk ke dalam hidung Nelva. Cahaya mentari sore berusaha menembus kaca balkon kamar Mika, dan angin yang berhembus santai berhasil menggoyangkan tanaman-tanaman kesayangan milik perempuan itu.

“Hai, Mika,” Alina dan Nelva memeluk erat tubuh Mika secara bergantian, kemudian mereka menduduki kursi tamu sembari mengenggam tangan kanan milik Mika yang terpasang selang infus.

Mika tersenyum tipis. “Gue baca pesan yang lo kirim, Nel. Apa yang terjadi?” tanyanya pelan. “By the way, Fabin ke sini 2 hari yang lalu dan dia jadian sama Maddie,”

Alina memegang pundak Nelva, menyuruh perempuan itu untuk menceritakan semua yang ia rasakan hampir 2 minggu ini.

Semacam penyiksaan batin.

Lihat selengkapnya