-Setelah ini, aku Cuma bisa ketemu kamu lewat mimpi. Aku Cuma bisa ngilangin rindu aku lewat foto kamu. Dan aku cuma bisa terus lindungin kamu lewat doa-
Hancur.
Adalah perumpamaan yang tepat atas semua yang terjadi saat ini. Mereka semua merasa hancur, terlebih lagi Dika yang berada di samping Mika saat perempuan itu memilih untuk meninggalkan dunia.
Sudah cukup lama, Mika memendam rasa sakitnya sendiri. Sudah cukup lama, Mika berjuang mati-matian sendiri. Dan sekarang, memang saat yang tepat untuknya pergi.
Istirahat dengan tenang.
Area pemakaman mulai sepi. Seluruh rekan-rekan sekolah Mika, Hansel, Juna, dan beberapa keluarga mereka dari Inggris, sudah kembali ke kediaman Juna. Namun Dika; laki-laki itu masih setia berlutut di hadapan rumah baru milik kekasihnya itu. Ia tidak mempedulikan celananya yang kotor akibat tanah pemakaman.
Yang ia pedulikan hanya satu; Mika.
“Gaknyangka, ya. Kamu beneran ninggalin aku,” ia memegang batu nisan bertuliskan nama lengkap Mika. “Aku pikir, kamu bercanda,”
Hanya terdengar desiran angin.
“Mik, aku terpuruk. Rasanya, aku gak bakalan bisa ninggalin kamu disini—disana kamu sama siapa? Siapa yang jagain kamu? Biasanya bang Juna dan Hansel, biasanya aku,”
“A-aku rasa aku gak akan bisa ngelupain kamu,” Dika menundukkan kepalanya. Airmatanya berjatuhan, mengalir deras di wajahnya. “A-aku belum bisa ngikhlasin kamu, Mika,”
Dika terjatuh di rumah baru milik Mika. Kedua tangannya memeluk erat batu nisan tersebut. Airmatanya terus mengalir. Ia tidak mempedulikan angin yang bertiup kencang.
Sungguh, ia belum pernah siap untuk kehilangan Mika.
●●●
Dika menghela nafas gusar. Ia sudah mengenakan seragam sekolahnya, sudah mengenakan sepatu hitam, dan pasti untuk hari ini dan 2 hari berikutnya, laki-laki itu akan berseragam sopan dan rapi.