•Epiphany•
Selepas membayar ongkos oplet, cewek ber-overall selutut dengan dalaman kaus pinky itu membawa dua box yang masing-masing berisikan belasan croissant dan cup es kopi gula aren. Sepasang iris cokelat gelapnya memancar binar antusias. Bagaimana tidak, ini layaknya misi yang akan mengantarkannya selangkah lebih dekat untuk berkecimpung di dapur Amorist Bakery, sebuah toko roti beken yang merangkap sebagai tempat nongki favorit para kawula muda.
"Rotinya, Kak."
"Nggak, Dek. Up dulu."
Ekspresi ramah tamah di wajahnya sempat meluntur lantaran terkejut. Ah, barangkali beberapa dari mereka yang begitu khusyuk bersama alat-alat lukis dengan dinding sebagai mediumnya itu mengira bahwa Bia sedang menjajakan dagangannya. Bia terkikik kecil. "Aman... free kok, Kak. Disponsori sama Amorist Bakery yang seluruh menunya endeuls endulita."
"Kirain berbayar." Setelahnya tawa mulai sahut-menyahut. "Bahasa lo aja barusan dah kayak selebgram yang lagi nerima PP."
Bia balas terkekeh-kekeh mendengarnya. Lekas saja ia memberikan jatah yang sudah diamanahkan. Kemudian berlanjut ke penggiat-penggiat seni lainnya. Setelah dilihat-lihat lagi, yang mengerjakan mural ini didominasi oleh laki-laki. Hanya satu dua orang perempuan yang berpartisipasi. Pun lebih takjubnya lagi, mereka mungkin masih duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi.
"Gimana sih, punya tangan-tangan ajaib kayak gitu sampai bisa ngasilin karya seni yang estetik banget?" Bia memaku dalam keadaan posisi berdiri memandangi salah satu karya yang sedang dikerjakan. Untuk ukuran orang yang tak begitu paham perihal seni seperti dirinya, mural ini sangat berhasil memanjakan mata dan melepas haus akan kepuasannya terhadap estetika. Bia bahkan hampir menyentuh lupa dalam puluhan sekon lamanya kalau saja seseorang tidak berceletuk sesuatu yang merujuk kepadanya.
"Kalo kantong ajaib, ya... doraemon." Cowok berkaus hitam dengan model lukisan aliran surealisme itu berbalik. Sekitar pipi dan pelipisnya terjejak cat yang disebabkan ketika tak sengaja menyeka peluh. Kedua bola mata hitam legam tersebut bersirobok dengan mata Bia. "Ada kopi hitam nggak? Yang gulanya sedikit. Terus, rotinya ganti sama bala-bala aja."
Setelah lepas dari melongo lantaran mendengar request-an yang kelewat anteng dari si pemilik bibir yang tidak terlalu tipis tapi juga tak begitu tebal itu, Bia tersenyum. Menyirat masam. "Kalo mau kopi dan bala-bala, entaran aja. Waktu di rumah. Rayu Ibu biar dibuatin." Sesaat Bia mengedar pandang ke sembarang arah seraya menggerutu pelan. "Udah endeuls-endeuls lahap roti dan nyesap kopi ala café."
"Kalem, dong. Canda juga."
Omong-omong soal bercanda, Bia suka. Ia punya selera humor yang baik dan enggak muluk-muluk. Cuma, ya, kalau sedari tadi dijahili, Bia heran juga. Sudah jelas-jelas box dalam dekapannya berlabel toko roti. Dan soal penampilan, apa kentara betul dekilnya? Padahal, sedari pagi Bia hanya berdiam di toko, memasukkan berpuluh-puluh roti ke dalam kemasan, dan melayani pelanggan yang silih berganti berbelanja. Terus begitu ulangi sejak pertama kali ia bergabung ke Amorist Bakery tepat satu hari setelah Ujian Nasional berakhir. Atau, mereka saja yang masih menganggap dirinya bak bocah yang baru mengenakan seragam Putih Biru? Ya ampun! Perlu digarisbawahi, pendek-pendek begini, sebentar lagi yang namanya Kanaya Abeeya akan menjajaki dunia putih abu-abu. Lagi pula, Bia yakin sekali, kalau cowok di dekatnya sekarang, lagaknya sebaya dengan dirinya.