•Epiphany•
"Hatur tengkyu Dhiwaaa. Udah minjemin dapurnya buat Bia coba-coba resep baru. Jadi, deh, kue putu ayu." Selepas menyuguhkan sepiring kue tradisional berwarna hijau dengan baluran kelapa parut di atasnya, Bia menarik kursi dan duduk di hadapan si tuan rumah.
Bia tersenyum kagum sepanjang memperhatikan Dhiwa sedang menemukan posisi yang pas untuk memotret. Dhiwa bak fotografer ulung meski cuma mengandalkan kamera gawai. Belum lagi, ekspresinya terlihat betul-betul fokus dan serius. Matanya, bibirnya yang terkatup, dan rahang tegas cowok itu bikin betah untuk berlama-lama dipandangi.
"Kalem aja. Entar lo suka beneran sama gue." Dhiwa berujar segampang mengejapkan mata. Ia kembali duduk dan memeriksa mana hasil foto yang paling bagus untuk disimpan dan kemudian akan ia gambar di sketch book A5-nya. "Gue bakal gambar yang ini. Gimana menurut lo?"
"Ih ya ampuuun! Sayang banget Bia sama yang namanya Wadidaw." Tatapan Bia menyorot antusias tatkala Dhiwa memamerkan hasil jepretannya. Langsung saja perempuan ber-crewneck soft blue itu mengacungkan dua jempol. "Estetik abisss!"
Semenjak berkenalan lalu berteman hingga bertitel "pacar gadungan", Dhiwa dan Bia memang kerap melakukan banyak hal bersama-sama. Seperti dadakan menonton konser musik indie atau reggae yang tergelar di tanah lapang, kulineran kaki lima di Jalan Sabang, dan sesekali cuci mata ke pagelaran seni rupa.
Suatu waktu, kira-kira kelas sepuluh tahun lalu, Bia terbesit meminta Dhiwa untuk iseng menggambar foto-foto makanan di galeri ponselnya. Dhiwa sempat menolak lantaran selera Bia warna-warnanya terlalu girly. Dhiwa tidak terbiasa akan hal itu. Sebab Dhiwa sudah terlanjur nyaman melukis dengan nuansa surealis. Namun, bukan Kanaya Abeeya kalau tidak dapat mensugesti Kamandaka Dhiwa. Cewek mungil itu... sepertinya memiliki bakat dalam mempersuasi orang-orang. Tak salah jika impiannya berkenaan dengan marketing.
Walhasil, inilah salah satu bentuk pertemanan ala Dhiwa dan Bia. Kalau Bia berhasil menyajikan menu baru, maka Dhiwa-lah yang bertugas mengabadikannya di album ponsel dan buku sketsa. Dua hingga tiga hari setelahnya, Dhiwa memperlihatkan karyanya dan mereka menikmatinya bersama-sama. Kadang-kadang sampai menyentuh lupa karena terlalu banyak obrolan yang akhirnya tercipta.
"What? Habis?" Bia melongo tak percaya. Kedipan pada matanya bekerja lebih gesit dari biasanya. "Baru aja gue nyeduh kopi...," sisa-sisa keterkejutan di muka Bia masih ada. "Gue tau masakan gue enak, tapi jangan keliatan doyan banget dong, Wa. Lo bikin gue nambah PD aja buat buka toko kue di masa depan." Bia tersenyum mesem-mesem. Ia juga sengaja menyelipkan anak rambut ke belakang telinga dengan anggun.
"Bia kalo pinter masak, dipanggil 'Bibi'."
"Koki!" Bia mengoreksi. Nada suaranya seketika berubah ketus. "Masa 'bibi'. Kalo Chef Bia, sih... boleh banget!" Bia bersenandung. Ia duduk kembali dan menyeruput kopi penuh peresapan. "Eh iya, Dhiwa nanti tolong cuci piring, ya."
"Bi, gue udah minjemin dap--"